Jumat, 27 Maret 2009

Sakit perut

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diare adalah suatu gejala klinis dan gangguan saluran pencernaan (usus) yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi Iebih dan biasanya (berulang-ulang), disertai adanya perubahan bentuk dan konsistensi dan faeses menjadi lembek atau cair. Di Indonesia penyakit diare (mencret) masih merupakan masalah di bidang kesehatan terutama di daerah pedesaan. Angka kesakitan penduduk sekitar 15–43% tiap tahun. Dari jumlah tersebut 60–80% diderita oleh anak balita. Angka kematian yang disebabkan oleh diare mengalami penurunan dari 12,4% (1986) menjadi 7,5% (1992), dan urutan penyebab kematian karena infeksi menduduki urutan ke-3 setelah penyakit tuberkulosis dan infeksi saluran nafas. Menurut daftar kunjungan ke Puskesmas/Balai Pengobatan, angka kunjungan karena penyakit tersebut menduduki urutan ke 3. Dan hasil survai penggunaan obat tradisional di Kalimantan Timur penyakit diare termasuk yang sering dikeluhkan oleh masyarakat(1,2). Faktor penyebab terjadinya diare antara lain infeksi kuman Penyebab diare, keadaan gizi, higiene dan sanitasi, sosial budaya, musim, sosial ekonomi dan lain-lain. Masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan resmi sangat tergantung pada alam sekeliling bagi kesehatan termasuk menanggulangi diare.

Pengetahuan tentang diare dan penyakit yang berhubungan dengannya sangat diperlukan bagi mahasiswa kedokteran. Oleh karena itu, pada skenario ini kita akan membahas tentang diare, gastritis dan beberapa penyakit yang berhubungan dengannya.

B. Analisis Masalah

Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu :

a) Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?

b) Apa diagnosis penyakit diatas ?

c) Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini?

d) Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien?

e) Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

C. Tujuan Penulisan

a) Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada gastritis dan diare.

b) Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada gastritis dan diare.

c) Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

d) Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem pencernaan pada kasus di atas.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :

a. membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;

b. mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;

c. menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler; dan

d. menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DIARE

Istilah diare digunakan jika feses kehilangan konsistensi normalnya yang padat. Hal ini biasanya berhubungan dengan peningkatan beratnya (pada laki-laki>235 g/hari dan perempuan>175g/hari) dan frekuensinya (>2 perhari). Diare dapat memiliki banyak penyebab :

- Diare osmotic : terjadi akibat asupan sejumlah makanan yang sukar diserap bahkan dalam keadaan normal atau pada malabsorbsi. Termasuk dalam kelompok pertama adalah sorbitol(ada dalam obat bebas gula dan permen serte buah-buahan tertentu), fruktosa (jeruk, lemon, berbagai buah, madu), garam magnesium (antasida, laktasif) serta anion yang sukar diserap seperti sulfat, fosfat atau sitrat.

Zat yang tidak diserap bersifat aktif secara osmotic pada usus halus sehingga menarik air ke dalam lumen. Dan hal ini tergambarkan dalam beberapa percobaan. Misalnya, asupan zat yang tidak diserap sebesar 150 mmol dalam 250 mL air akan memulai sekresi air secara osmitik di duodenum sehingga volumenya meningkat hingga 750 mL.

Pada malabsorbsi karbohidrat, penurunan absorbsi Na di usus halus bagian atas menyebabkan penyerapan air menjadi berkurang . Aktivitas osmotic dari karbohidrat yang tidak diserap juga menyebabkan sekresi air. Akan tetapi, bakteri di dalam usus besar dapat memetabolisme karbohidrat yang tidak diserap hingga sekitar 80 g/hari menjadi asam organic yang berguna untuk menghasilkan energi, yang bersama-sama dengan air akan diserap di dalam kolon. Hanya gas yang dihasilkan dalam jumlah besar yang akan memberikan bukti terjadinya malabsorbsi karbohidrat. Namun, jika jumlah yang tidak diserap >80 g/hari atau bakteri usus dihancurkan oleh antibiotic , akan terjadi diare.

- Diare sekretorik : dalam pemahaman yang lebih sempit terjadi jika sekresi Cl di mukosa usus halus diaktifkan. Di dalam sel mukosa , Cl secara sekunder aktif diperkaya oleh pembawa simport Na-K-2Cl basolateral dan disekeresi melalui kanal Cl di dalam lumen. Kanal ini akan lebih sering membuka ketika konsentrasi cAMP intrasel meningkat. cAMP dibentuk dalam jumlah yang lebih besar jika terdapat misal laktasif dan toksin bakteri tertentu (kolera). Toksin kolera menyebabkan diare massif (hingga 1000mL/jan) yang dapat secara cepat mengancam nyawa akibat kehilangan air, K dan HCO3.

Pembentukan VIP (vasoactive intestinal peptide) yang berlebihan oleh sel tumor pulau pancreas juga menyebabkan tingginya kadar cAMP di mukosa usus sehingga mengakibatkan diare yang berlebihan dan mengancam nyawa yang biasa disebut dengan kolera pankreatik.

Terdapat beberapa alasan mengapa diare terjadi setelah reaksi ileum dan sebagian kolon. Garam empedu, yang normalnya diabsorbsi di ileum, akan mempercepat aliran yang melalui kolon(absorbsi air menurun). Selain itu, garam empedu yang tidak diserap akan dehidroksilasi oleh bakteri dikolon. Metabolit garam empedu yang terbentuk akan merangsang sekresi NaCl dan H2O dikolon. Akhirnya, juga terjadi kekurangan absorbsi aktif Na pada segmen usus yang direseksi.

GASTRITIS

Secara sederhana gastritis dapat dibedakanatas tiga tipe utama :

- gastritis hemoragik dan erosif.

- gastritis aktif kronis, non erosif.

- gastritis atrofi (kelenjar fundus)

Gastritis hemoragik dan erosif dapat disebabkan beberapa hal, misalnya :

- Penggunaan obat AINS, memiliki efek perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik.

- Iskemia.

- Stres.

- Penyalahgunaan alkohol, zat kimia korosif.

- Trauma dan radiasi.

Gastritis tipe ini dapat secara cepat menyebabkan ulkus akut, dengan resiko perdarahan lambung yang masif atau perforasi dinding lambung.

Gastritis aktif, non-erosif biasanya terbatas pada antrum. Pada beberapa dekade terakhir penyebab penentunya telah semakin jelas, yaitu kolonisasi bakteri helocobacter pylory pada antrum yang secara efektif dapat diobati dengan antibiotik. Kolonisasi helocobacter tidak hanya mengurangi perlindungan mukosa, tetapi dapat juga merangsang lepasnya gastrin antrum dan sekresi getah lambung di fundus, suatu kondisi yang membantu terjadinya ulkus kronis.

Gastritis reaktif terjadi di sekeliling gastritis erosif, ulkus atau luka operasi. Gastritis reaktif yang terjadi di sekeliling luka operasi, sebagian terjadi setelah dilakukan operasi di daerah antrum atau pilorus akibat refluks enterogastrik, menyebabkan enzim dari pankreas dan usus serta garam empedu menyerang mukosa lambung. Di sisi lain, getah usus yang alkalis akan menetralkan pelepasan gastrin, dan keadaan ini juga merupakan media yang buruk bagi helicobacter pylori sehingga pada gastritis reaktif kolonisasi helicobacter pylori akan berkurang.

Gastritis atrofi (kelenjar fundus) paling sering terbatas di fundus, memiliki penyebab yang sangat berbeda. Pada keadaan ini, getah lambung dan plasma biasanya mengandung autoantibodi terhadap bagian atau produk sel parietal seperti lipoprotein mikrosom, reseptor gastrin, karboanhidrase, H+/K+ ATPase dan faktor intrisik. Akibatnya, sel parietal menjadi atrofi dan menyebabkan sekresi asam dan faktor intriksik menjadi sangat menurun. Antibodi faktor intrinsik juga menghambat ikatan kobalamin dengan faktor intrinsik yang akhirnya menyebabkan defisiensi kobalamin dengan anemia pernisiosa. Pada gastritis atrofi, gastrin akan dilepaskan lebih banyak sebagai respon terhadap hal ini dan sel pembentuk gastrin mengalami hipertrofi. Hiperplasia sel yang menyerupai enterokromafin(ECL) mungkin terjadi akibat kadar gastrin yang tinggi. Sel ini mengangkut reseptor gastrin dan berperan untuk menghasilkan histamin di dinding lambung. Hiperplasia sel ECL ini kadang-kadang berkembang menjadi karsinoid. Akan tetapi bahaya utama pada gastritis atrofi adalah metaplasia mukosa yang luas, merupakan keadaan prakanker shingga dapat menyebabkan karsinoma lambung.

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP, hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan kelainan penderita akibat sistem pernapasan. Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut penulis terhadap kasus dalam skenario.

Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).

Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.

Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.

Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.

2. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. Saran

1. Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu penurunan tekanan darah selain menggunakan terapi farmakologis.

2. Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan non-farmakologis secara teratur guna mengontrol tekanan darahnya.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404.

2. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.

3. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 176-249.

4. Joesoef, H. Andang; Setianti, Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : FK UI.

5. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.

6. Cutler, Jeffrey A., et al. . 2008. Trends in Hypertension Prevalence, Awareness, Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988 1994 and 1999 2004. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/52/5/818.

7. Hermawan, Guntur. 2008. BED SIDE TEACHING. Surakarta : Kesuma.

Peritonitis dan apendisitis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ pencernaan tambahan (aksesori). Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan sebagai sumber ATP untuk menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan sumber bahan untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh. Sistem pencernaan tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam keadaan terganggu.
Walaupun sistem pencernaan mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan kita, akan tetapi tidak jarang juga kelainan pada sistem ini juga dapat mengakibatkan kematian. Salah satunya adalah apendisitis, penyakit ini merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi dan tindakan bedah segera mutlak diperlukan pada apendisitis akut untuk menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya seperti peritonitis generalisata. Pada laporan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem pencernaan dan gangguannya, khususnya apendisitis dan peritonitis.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana anatomi dari apendiks dan peritoneum ?
2.Bagaimana patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien di skenario dua ini?
3.Apa diagnosis penyakit yang dialami pasien di skenario dua ini ?
4. Apa saja gejala-gejala dari penyakit apendisitis dan peritonitis ?
5.Bagaimana penatalaksanaan untuk kasus di skenario ini ?
C. Tujuan Penulisan
1.Memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran sistem gastrointestinal terutama yang berkaitan dengan skenario.
2.Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem gastrointestinal untuk memecahkan masalah dalam skenario.
3.Memenuhi tugas individu tutorial skenario 2 Blok XIV Sistem Gastrointestinal.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat sebagai sarana pembelajaran mahasiswa dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem Gastrointestinal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Anatomi Apendiks Vermiformis dan Peritoneum
1.Apendiks Vermiformis
Apendiks merupakan tonjolan buntu/sisa dari apeks caecum yang belum diketahui fungsinya pada manusia (Budianto (ed), 2003;Lindseth, 2006). Panjang apendiks kira-kira 2-20 cm terletak di fossa iliaca dextra, kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan (Budianto (ed), 2003). Struktur apendiks berupa tabung yang panjang, sempit dan mengandung arteri apendikularis (vasa darah yang memvaskularisasi apendiks) yang merupakan suatu arteria terminalis/end-artery (lindseth, 2006). Penentuan letak pangkal dan ujung apendiks dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• Menurut garis Monroe-Pichter
Garis ini diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, pangkal apendiks terletak 1/3 lateral garis ini yang biasa disebut titik Mc Burney.
• Menurut garis Lanz
Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra, ujung apendiks ada pada titik 1/6 lateral dexter.
(Budianto (ed), 2003)
2.Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa tipis dan licin yang melapisi bagian dalam dinding cavitas abdominalis serta membungkus sebagian atau seluruh viscera abdominis (Budianto (ed), 2003).
B. Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen, sumbatan ini akan mengakibatkan hambatan pengeluaran sekret lumen sehingga akan terjadi pembengkakan, infeksi dan ulserasi (Lindseth, 2006). Sumbatan ini dapat dikarenakan hiperplasia jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, cacing askaris dan E.histolytica (Pieter (ed), 2005). Berdasarkan lama gejala yang dialami, apendiks dapat dibagi menjadi dua; yaitu:
1. Apendisitis Akut
Gejala klasik pada apendiks akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus berlangsung antara 1-2 hari, dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah (titik Mc Burney) dengan disertai mual, anoreksia dan muntah (Lindseth, 2006). Pada pemeriksaan akan ditemukan pasien mengalami demam ringan dengan suhu antara 37,5-38,5˚C dan leukositosis sedang, bila suhu lebih tinggi kemungkinan besar telah terjadi perforasi (Lindseth, 2006;Pieter (ed), 2005). Pada inspeksi perut tidak didapatkan gambaran yang khas.
2. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronk apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendektomi (Peiter (ed), 2005). Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik (Pieter (ed), 2005).
C. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan penyulit berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen (misal: apendisitis dan salpingitis), perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen (Lindseth, 2006). Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis, beratnya peritonitis dan jenis organisme penyebabnya. Gejala yang timbul biasanya demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terus-menerus), muntah, abdomen yang tegang dan kaku, nyeri tekan lepas dan tanpa bunyi (Lindseth, 2006). Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata yang dapat menimbulkan ileus paralitik.
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan dari keluhan yang dialami oleh pasien perempuan pada skenario dua ini, ada dua tahapan yang patut dicermati, yaitu kunjungan pertama dan kunjungan kedua pasien ke rumah sakit. Pada kunjungan pertama, pasien mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari lalu, mual, muntah, suhu badan 37,5˚C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada daerah Mc Burney, defans muskular negatif, bising usus normal, lekosit 11.000/dl dan nyeri tekan jam 10-11 pada RT (Rectal Toucher). Gejala-gejala tadi merupakan gejala khas pada apendisitis akut, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa pasien menderita apendisitis.
Pada kunjungan kedua, pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut, kembung, ada gangguan BAB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali/menit, RR 28 kali/menit, suhu 39˚C, bising usus hilang, nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif, tonus sphincter ani menurun, distensi abdomen ringan, dan nilai leukosit 20.000/dl. Kalau dilihat dari informasi di atas, penyakit apendisitis pasien telah berkomplikasi menjadi peritonitis generalisata.
Suhu tinggi yang dialami oleh pasien disebabkan karena adanya perubahan set point termostat hipotalamus akibat diinduksi oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri (seperti endotoksin ataupun eksotoksin) maupun oleh zat-zat hasil dari peristiwa peradangan, seperti IL-1 (Guyton dan Hall, 2007). Perubahan set point ini akan direspon tubuh dengan cara meningkatkan metabolisme sel basal melalui mekanisme rangsang simpatis untuk memperoleh panas (selama proses pembentukan ATP sekitar 35% energi berubah menjadi dalam bentuk panas) agar sesuai dengan set point di hipotalamus, peristiwa ini akan diikuti dengan peningkatan denyut nadi dan pernapasan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat (Guyton dan Hall, 2007). Itulah alasan mengapa RR dan nadi juga ikut meningkat pada kasus ini. Alasan mengapa tensi pasien turun cukup tajam, mungkin hal ini akibat sepsis yang juga diderita pasien. Tanda sepsis pada pasien ini antara lain: Suhu >38˚C, Denyut jantung/nadi >90 kali/menit, RR >20/menit, hitung leukosit >12.000/dl dan sumber infeksinya telah diketahui (Hermawan, 2006). Pada peristiwa sepsis umumnya diikuti oleh bakteriemia, bakteriemia yang luas dan berat tentu akan diikuti peningkatan jumlah leukosit sehingga akan terjadi peristiwa fagositosis besar-besaran di dalam tubuh. Peristiwa fagositosis ini akan menghasilkan mediator inflamasi berupa vaso aminoaktif yang mempunyai efek vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Wilson, 2006). Peningkatan permeabilitas vaskular tentu akan mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena/venous return akibat transudasi cairan plasma intravaskular ke ekstravaskular, hal ini akan mengakibatkan cardiac output berkurang, sedangkan vasodilatasi akan mengakibatkan berkurangnya resistensi pembuluh darah. Kita tahu bahwa, BP = CO x PVR (BP=blood pressure, CO=cardiac output , PVR=peripheral vascular resistence) (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2001), sehingga apabila resistensi pembuluh darah turun dan atau cardiac output turun, tentu tekanan darah juga akan turun.
Pasien tidak bisa kentut, adanya gangguan BAB, bising usus hilang dan tonus sphincter ani menurun mengindikasikan bahwa pasien mengalami ileus paralitik. Akibat adanya kelumpuhan/paralisis ini, maka gerakan peristaltik usus akan menghilang sehingga bising usus juga akan hilang. Hilangnya gerakan peristaltik usus juga akan menyebabkan gangguan BAB karena transportasi sisa pencernaan makanan dari usus ke rectum terhenti, hal ini akan menyebabkan lumen usus mengalami obstruksi sehingga gas hasil pencernaan (kentut) juga tidak bisa keluar. Tertahannya gas dalam perut maupun sisa pencernaan makanan (feces) akan menyebabkan perut penderita menjadi kembung.
Rasa nyeri tekan di seluruh perut pada skenario, akibat proses peradangan di seluruh peritoneum. Sedangkan defans muskular positif (umumnya terdapat pada peritoneum generalisata) terjadi sebagai respon tubuh untuk menghindari rasa nyeri ketika akan dipalpasi oleh dokter, hal ini mirip dengan seseorang karateka yang sedang melatih kekuatan perut, dimana salah satu karateka memukul salah satu perut karateka yang lain, maka karateka yang akan dipukul tadi secara reflek dia akan mengkontraksikan otot-otot perutnya agar rasa nyerinya berkurang saat dipukul.
Prinsip umum pengobatan pada kasus apendisitis yang telah mengalami komplikasi berupa peritonitis adalah dengan pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran gastrointestinal dengan penyedotan intestinal atau nasogastrik, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang secara intravena, tirah baring dalam posisi Fowler, pembuangan fokus septik (apendisitis dengan cara apendektomi) dan tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pasien menderita apendisitis yang telah berkomplikasi menjadi peritonitis generalisata.
2. Terapi pembedahan mutlak diperlukan untuk menghilangkan sumber septik.
B. Saran
1. Seorang dokter seharusnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi seorang pasien untuk menjalani sebuah metode terapi agar tidak terjadi keterlambatan pengobatan sehingga komplikasi penyakit yang lebih berat dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA

Budianto (ed). 2003. Guidance to Anatomy II Edisi Pertama (Revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS
Guyton AC dan Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hermawan AG. 2006. “Sepsis” in Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Lindseth GN. 2006. ”Gangguan Lambung dan Duodenum” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Peiter J (ed). 2005. ”Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum” in Sjamsuhidajat R dan Wim de Jong (ed). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.
Wilson LM. 2006. ”Respon Tubuh Terhadap Cedera” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.

Sabtu, 14 Maret 2009

hipertensi dan gagal jantung

LAPORAN TUTORIAL
BLOK KARDIOVASKULER
SKENARIO 3




ASPEK KLINIK PADA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG











Disusun oleh :
FEBRIAN F N
G0007071
KELOMPOK 7
TUTOR :


Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan kemajuan tehnologi di abad ini, kematian yang disebabkan penyakit infeksi berkurang sedang penyakit system kardiovaskuler terus meningkat. Berkurangnya penyakit infeksi ini kiranya disebabkan beberapa faktor yaitu :
- Perbaikan sosioekonomi masyarakat.
- Pemberantasan kuman penyakit yang efektif disertai dengan tindakan pencegahan penularan penyakit yang lebih baik.
- Diketemukannya obat-obat antibiotika yang baru.
- Meningkatnya penyuluhan kesehatan dan majunya promosi
pengetahuan kesehatan.
Pada saat ini di negara yang maju, penyakit sistem kardisvaskuler merupakan penyebab kematian yang paling utama (1). Penyakit sistem kardiovaskuler yang pada saat ini merupakan masalah di masyarakat yang perlu segera ditangani adalah penyakit tekanan darah tinggi. Mengingat prevalensinya cukup tinggi dan pada umumnya sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah tinggi, kadang-kadang tekanan darah tinggi ini diketemukan secara kebetulan waktu penderita datang
ke dokter untuk memeriksakan penyakit lain: Di Indonesia prevalensi tekanan darah tinggi cukup tinggi, meskipun tidak setinggi di negara-negara yang sudah maju, yaitu sekitar 10% (2,3,4): Sedangkan WHO memperkirakan bahwa 20% dari umat manusia yang berusia setengah baya menderita tekanan darah tinggi (5) Bila penyakit tekanan darah tinggi tidak diobati, tekanan darah semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita, dan tekanan darah yang terus meningkat dapat memberikan komplikasi pada jantung, ginjal dan otak penderita. Oleh sebab itu penyakit tekanan darah tinggi harus segera ditanggulangi. Usaha menanggulangi penyakit tekanan darah tinggi ini cukup serius baik di dalam maupun di luar negeri.





B. Analisis Masalah
Laki-laki 54 tahun.
Sesak nafas saat aktifitas ringan.
Batuk berdahak merah muda.
Berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang.
Pernah menderita penyakit yang sama.
Kumat-kumatan sejak 1 bulan.

Pemeriksaan fisik : tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate 120x/menit, respiratory rate 32x/menit, suhu badan 36,50 C, JVP tidak meningkat.
Inspeksi : ictus kordis bergeser ke lateral bawah.
Palpasi : iktus kordus di SIC VI 2 cm lateral linea medioclavicularis.
Perkusi : Batas jantung kanan di SIC V parasternal kanan.
Auskultasi : Bunyi jantung 1 meningkat, bunyi jantung 2 normal, bising pansistolik di apeks dan menjalar ke lateral, irama gallop positif. Paru : vesikuler, ronkhi basal halus.
Pemeriksaan abdomen : tidak ada hepatomegali dan ascites.
Pemeriksaan laboratorium : Hb 14 g/dL, serum ureum: 65, serum kreatinin: 1.4.
EKG : LVH, LAH.
Foto polos : CTR 0,60, apeks ke lateral bawah, kardiomegali, pinggang jantung menonjol.
Analisis gas darah: asidosis metabolik terkompensasi.
Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu :
a) Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?
b) Apa diagnosis penyakit diatas ?
c) Bagaimana hubungan antara faktor resiko dengan keluhannya saat ini?
d) Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien?
e) Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

C. Tujuan Penulisan
a) Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada hipertensi dan gagal jantung.
b) Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada hipertensi dan gagal jantung.
c) Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.
d) Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem kardiovaskuler pada kasus di atas.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :
a. membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;
b. mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;
c. menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler; dan
d. menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan gaya utama yang mendorong darah ke sel atau jaringan. Tekanan darah ini harus diatur secara ketat dikarenakan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup agar organ otak atau jaringan lain menerima aliran darah yang adekuat. Kedua, tekanan ini tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus.5
Ada dua faktor penentu utama tekanan darah yaitu curah jantung (cardiac output, CO) dan resistensi perifer total. Curah jantung merupakan volume darah yang dipompakan oleh tiap-tiap ventrikel per menit. Curah jantung ini dipengaruhi kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh adanya perangsangan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Perangsangan simpatis akan menyebabkan peningkatan kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraktil sel otot jantung. Volume sekuncup adalah volume darah yang dipompa per denyut jantung yang didapatkan dari pengurangan volume diastolik akhir (EDV) dengan volume sistolik akhir (ESV). Volume sekuncup ini terutama dipengaruhi oleh besarnya aliran balik vena ke jantung. Volume sekuncup akan meningkat jika terjadi pengisian ventrikel (EDV) juga meningkat. Selain itu, volume sekuncup juga dipengaruhi oleh adanya aktivitas simpatis yang akan meningkatkan kontraktilitas jantung yang mengacu kepada kekuatan kontraksi pada setiap volume diastolik akhir. Selain dipengaruhi oleh aktivitas simpatis, aliran balik vena juga dipengaruhi oleh aktivitas pernapasan dan otot rangka, volume darah, dan katup vena.5
Resistensi perifer merupakan tahanan pembuluh darah (terutama arteriol) terhadap aliran darah. Resistensi ini terutama dipengaruhi oleh jari-jari pembuluh darah dan viskositas darah. Secara biofisika, bahwa resistensi perifer dapat dijabarkan dalam sebuah rumus menurut Hukum Pousteille5 yaitu:
R = 8 ῃ L
Π r4
Keterangan: R = resistensi perifer
ῃ = viskositas darah
L = panjang pembuluh
r = jari-jari pembuluh

Dari persamaan di atas terdapat hubungan-hubungan dimana apabila viskositas darah meningkat akan menyebabkan peningkatan resistensi dan apabila jari-jari pembuluh semakin kecil maka resistensi besar. Panjang pembuluh pada persamaan di atas tidak mempunyai pengaruh yang besar karena panjang pembuluh darah di dalam tubuh relatif konstan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi jari-jari pembuluh darah yaitu faktor intrinsik (berupa perubahan metabolik lokal dan pengeluaran histamin) dan faktor ekstrinsik (berupa kontrol saraf dan hormon). Perubahan metabolik yang dapat menyebabkan relakasasi otot polos arteriol (vasodilatasi) adalah pengingkatan CO2 dan asam serta osmolaritas, penurunan O2, pengeluaran prostaglandin dan adenosin. Histamin merupakan mediator kimiawi lokal yang menyebabkan relaksasi otot polos arteriol sehingga terjadi vasodilatasi pada daerah lokal tersebut. Peningkatan aktivitas simpatis meimbulkan vasokontriksi arteriol dimana serat-serat saraf ini mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak. Hormon yang berpengaruh terhadap jari-jari pembuluh adalah norepinefrin dan epinefrin yang dihasilkan oleh medulla adrenal yang dirangsang oleh adanya perangsangan simpatis. Selain itu, hormon angiotensin II dan vasopressin menyebabkan adanya retensi garam dan air dan vasokontriksi pembuluh darah.3

B. HIPERTENSI
Hipertensi adalah tekanan arteri yang tinggi dan abnormal pada sirkulasi sistemik dengan nilai sistole minimal 140 dan diastole 90. Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu : 1. primer : hipertensi yang belum jelas penyebabnya; 2. sekunder : hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Sebagian besar pasien hipertensi termasuk kategori primer (90%). Berikut kriteria hipertensi.6
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
< 130
< 85
Normal Tinggi
130 – 139
85 – 89
Hipertensi


Stadium 1
140 – 159
90 – 99
Stadium 2
160 – 179
100 – 109
Stadium 3
180 – 209
110 – 119
Stadium 4
> 210
> 120



PATOFISIOLOGI
Berdasarkan hukun ohm tekanan darah arteri = Curah jantung (CO) x Resistensi Perifer Total (TPR). Maka jika ada peningkatan pada CO dan TPR, tekanan arteri akan meningkat. Contoh peningkatan CO adalah pada perangsangan jantung yang berlebihan oleh katekolamin, sedangkan peningkatan TPR pada perangsangan angiotensin II pada arteri.3,4

ANAMNESIS7,4

1. Ditemukan tanda-tanda hipertensi : kaku tengkuk, kepala berat, sakit kepala.
2. Ada kelainan organ : mata kabur, sesak nafas, bengkak muka.
3. Pola makan
4. Riwayat keluarga.
5. Sosial ekonomi.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM7,4

1. Renal fungsi tes : BUN, kreatinin dan asam urat.
2. ECG dan foto thorak

PENATALAKSANAAN 7
1. Bed rest.
2. Diet tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam.
3. Medika mentosa :
- Tahap 1 : Diuretik (Lasik Injeksi, Furosemid tablet)
- Tahap 2 : Diuretik + Beta bloker (propanolol, maintate)
- Tahap 3 : Diuretik + Ca Antagonis (Nifedipin, Verapamil, Diltiazem)
- Untuk terapi tambahn bisa juga diberikan adrenolitik sentral dan vasodilator.
4. Terapi komplikasi
- apopleksi cerebri
- retinopati hipertensi
- edema paru akut
- gangguan fungsi ginjal
5. Bila desertai faktor emosional diberi minor transquilizer.


KRISIS HIPERTENSI 7
Tensi > 200/100 mmHg disertai ancaman komplikasi target organ. Merupakan keadaan emergensi sehingga harus diturunkan dalam waktu 1 jam. Biasanya diberikan nifedipin sublingual dan klonidin injeksi.

C. GAGAL JANTUNG KONGESTIFGagal jantung kongestif dimaksud adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh, disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena.1ETIOLOGI31.Kelainan otot jantung2.Ateriosklerosis koroner3.Hipertensi sistemik atau pulmonal4.Peradangan atau degeneratif5.Faktor sistemik : tirotoksikosis, hipokisa, anemia, asidosis dan ketidakseimbangan elektrolit.PATOFISIOLOGI31.Bila curah jantung berkurang sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila gagal maka volume sekuncup akan beradaptasi untuk mempertahankan curah jantung.2.Pada gagal jantung terjadi kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung sehingga curah jantung normal tidak dapat dipertahankan.KLASIFIKASI1,21.GAGAL JANTUNG KIRI 2.GAGAL JANTUNG KANAN GAGAL JANTUNG KIRI1.Gagal jantung kiri disebabkan oleh penyakit jantungkoroner, penyakit katup aorta dan mitral serta hipertensi2.Gagal jantung kiri berdampak pada :- Paru- Ginjal - Otak GAGAL JANTUNG KANAN1.Penyebab gagal jantung kanan harus juga termasuk semua yang dapat menyebabkan gagal jantung kiri, seharusnya stenosis mitral yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru.2.Gagal jantung kanan dapat berdampak pada :- Hati- Ginjal- Jaringan subkutis- Otak- Sistem Aliran aortaMANIFESTASI KLINIS7Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitralGagal Jantung Kiria. Dispneub. Orthopneuc. Paroksimal Nokturnal Dyspneud. Batuke. Mudah lelahf. Gelisah dan cemasGagal Jantung Kanana. Pitting edemab. Hepatomegalic. Anoreksiad. Nokturiae. KelemahanPEMERIKSAAN DIANOSTIK71Pada EKG ditemukan hipertropi ventrikel kiri, kelainan gelombang ST dan T2.Dari foto torax terdapat pembesaran jantung dan bendungan paru. 3.Pada ekhokardiografi terlihat pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan bergerak katup mitral saat diastolik. 4.Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)PENATALAKSANAAN7- Diuretik dapat menurunkan tekanan dan volume pulmonal sehingga gejala akan berkurang. Mengingat banyak penderita tergantung pada meningkatnya tekanan pengisian untuk mempertahankan isi sekuncup yang adekwat maka harus dihindari pemakaian diuretik berlebihan sebab bisa menimbulkan keadaan curah jantung yang rendah. Azotemia akibat diuretik bisa ditemukan pada gagal jantung diastolik.
- Pemberian nitrat akan memperbaiki gejala namun pemberiannya harus hati-hati untuk menghindari
timbulnya hipotensi.
- Pemberian penyekat ACE dan antagonis reseptor angiotensin II memperbaiki volume sekuncup dan
menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Dalam hal ini penyekat ACE dapat memperbaiki relaksasi dan distensibilitas jantung secara langsung dan mungkin mempunyai efek jangka panjang melalui kerjanya sebagai anti-hipertensi dan dapat meregresi hipertrofi dan fibrosis miokard.
- Pemberian beta-blokade dan antagonis kasium (verapamil) akan memperbaiki pengisian diastolik dengan memperlambat denyut jantung meskipun pemberiannya harus hati-hati pada gagal jantung diastolik yang berat. Kedua jenis obat ini menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, juga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.
- Pemberian dobutamine atau milrinone sebaiknya diberikan secara berhati-hati dan dengan pemantauan hemodinamik invasif oleh karena efek lusitropiknya.
- Fibrilasi atrium sangat mengganggu pada penderita dengan disfungsi diastolik dan sering memicu timbulnya dekompensasi. Konversi fibrilasi atrium ke ritme sinus dan mempertahankannya merupakan hal yang sangat penting.

BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP, hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan kelainan penderita akibat sistem pernapasan. Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut penulis terhadap kasus dalam skenario.
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.
Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.
2. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. Saran
1. Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu penurunan tekanan darah selain menggunakan terapi farmakologis.
2. Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan non-farmakologis secara teratur guna mengontrol tekanan darahnya.





BAB V
DAFTAR PUSTAKA


1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404.
2. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.
3. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 176-249.
4. Joesoef, H. Andang; Setianti, Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : FK UI.
5. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
6. Cutler, Jeffrey A., et al. . 2008. Trends in Hypertension Prevalence, Awareness, Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988 1994 and 1999 2004. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/52/5/818.
7. Hermawan, Guntur. 2008. BED SIDE TEACHING. Surakarta : Kesuma.

penyakit jantung koroner dan angina pektoris

LAPORAN TUTORIAL
BLOK KARDIOVASKULER
SKENARIO 1




NYERI DADA











Disusun oleh :
FEBRIAN F N
G0007071
KELOMPOK 7
TUTOR : Prof. Dr. Priyambodo, dr., MS, Sp.MK


Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner(PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteria koronaria. Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain oleh aterosklerosis, sifilis, pelbagai jenis arteritis dan emboli koronaria, kelainan jaringan ikat misalnya lupus eritematosus dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%), maka pembahasan tentang penyakit jantung koroner umumnya terbatas pada penyebab tersebut.1
Penyakit jantung koroner sangat banyak dilaporkan di negara maju. Insidensi PJK pada pria Eropa tercatat oleh WHO pada tahun 1976 sebanyak 2-14 per 1000 penduduk dan PJK paling banyak ditemukan di Finlandia. Di negara berkembang prevalensi PJK umumnya jarang. Di Afrika Selatan pada tahun 1970 yang meninggal akibat PJK adalah 0,05 per 1000 penduduk kulit hitam dan 1,9 per 1000 penduduk kulit putih. DI Ujung Pandang menunjukkan rata-rata dirawat karena PJK 0,3 per 1000 pasien.1
Beberapa data menunjukkan bahwa prevalensi PJK telah menggeser penyakit jantung rematik sebagai penyakit jantung yang paling banyak ditemukan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang patofisiologi, gejala klinik dan penatalaksanaan PJK sangat diperlukan oleh seorang mahasiswa kedokteran.
B. Analisis Masalah
Laki-laki 40 tahun.
Nyeri dada.

Kebiasaan merokok.
Orang tuanya pernah menderita penyakit jantung koroner.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium normal.
Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu :
a) Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?
b) Apa hubungan antara penyakit ayahnya dengan penyakit yang dikeluhkan pasien sekarang?
c) Bagaimana hubungan antara faktor resiko dengan keluhannya saat ini?
d) Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien?
e) Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

C. Tujuan Penulisan
a) Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada PJK
b) Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada PJK.
c) Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunkang.
d) Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem kardiovaskuler pada kasus di atas.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :
a. membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;
b. mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;
c. menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler; dan
d. menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit jantung koroner terutama disebabkan oleh kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner karena arterosklerosis yang merupakan proses degeneratif, di samping banyak faktor lain. Karena itu dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia Indonesia, kejadiannya akan makin meningkat dan menjadi suatu penyakit yang penting; apalagi sering menyebabkan kematian mendadak.2
Tujuh jenis penyakit jantung terpenting ialah :

1. Penyakit jantung koroner (penyebab 80% kematian yang disebabkan penyakit jantung)

2. Penyakit jantung akibat hipertensi (9%)

3. Penyakit jantung rernatik (2-3%)

4. Penyakit jantung kongenital (2%)

5. Endokarditis bakterialis (1-2%)

6. Penyakit jantung sifilitik (1%)

7. Cor pulmonale (1%),

8. dan lain-lain (5%).3

PATOFISIOLOGI
Pembuluh arteri mengikuti proses penuaan yang karakteristik seperti penebalan tunika intima, berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium terutama di arteri-arteri besar menyebabkan fibrosis yang merata menyebabkan aliran darah lambat laun berkurang. Iskemi yang relatif ringan tetapi berlangsung lama dapat pula menyebabkan kelainan katup jantung.3
Manifestasi penyakit jantung koroner disebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan masuknya. Masuknya oksigen untuk miokardium sebetulnya tergantung dari oksigen dalam darah dan arteria koronaria. Oksigen dalam darah tergantung oksigen yang dapat diambil oleh darah, jadi dipengaruhi oleh Hb, paru-paru dan oksigen dalam udara pernapasan.
Di kenal dua keadaan ketidakseimbangan masukan ter-hadap kebutuhan oksigen yaitu :

- Hipoksemi (iskemi) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskular.

- Hipoksi (anoksi) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah.

Perbedaannya ialah pada iskemi terdapat kelainan vaskular sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan eleminasi metabolit yang ditimbulkannya menurun juga, sehingga gejalanya akan lebih cepat muncul.
Ada beberapa hipotesis mengenai apa yang pertama kali menyebabkan kerusakan sel endotel dan mencetuskan rangkaian proses arteriosklerotik, yaitu :
1. Kolesterol Serum yang Tinggi
Hipotesis pertama mengisyaratkan bahwa kadar kolesterol serum dan trigliserida yang tinggi dapat menyebabkan pem-bentukan arteriosklerosis. Pada pengidap arteriosklerosis, pengedapan lemak ditemukan di seluruh kedalaman tunika intima, meluas ke tunika media.
Kolesterol dan trigliserid di dalam darah terbungkus di dalam protein pengangkut lemak yang disebut lipoprotein. Lipoprotein berdensitas tinggi (high-density lipoprotein, HDL ) membawa lemak ke luar sel untuk diuraikan, dan diketahui bersifat protektif melawan arteriosklerosis. Namun, lipoprotein berdensitas rendah (low density lipoprotein,LDL) dan lipo-protein berdensitas sangat rendah (very-low-density lipo-protein,VLDL) membawa lemak ke sel tubuh, termasuk sel endotel arteri, oksidasi kolesterol dan trigliserid menyebabkan pembentukan radikal bebas yang diketahui merusak sel-sel endotel.
2. Tekanan Darah Tinggi
Hipotesis ke dua mengenai terbentuknya arteriosklerosis di dasarkan pada kenyataan bahwa tekanan darah yang tinggi secara kronis menimbulkan gaya regang atau potong yang merobek lapisan endotel arteri dan arteriol. Gaya regang ter-utama timbul di tempat-tempat arteri bercabang atau membelok: khas untuk arteri koroner, aorta, dan arteri-arteri serebrum. Dengan robeknya lapisan endotel, timbul kerusakan berulang sehingga terjadi siklus peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga menjadi embolus di bagian hilir.
3. Infeksi Virus
Hipotesis ke tiga mengisyaratkan bahwa sebagian sel endotel mungkin terinfeksi suatu virus. Infeksi mencetuskan siklus peradangan; leukosit dan trombosit datang ke daerah tersebut dan terbentuklah bekuan dan jaringan parut. Virus spesifik yang diduga berperan dalam teori ini adalah sitomegalovirus, anggota dari famili virus herpes.
4. Kadar Besi Darah yang Tinggi
Hipotesis ke empat mengenai arterosklerosis arteri koroner adalah bahwa kadar besi serum yang tinggi dapat merusak arteri koroner atau memperparah kerusakan yang di sebabkan oleh hal lain. Teori ini diajukan oleh sebagian orang untuk menjelaskan perbedaan yang mencolok dalam insidens penyakit arteri koroner antara pria dan wanita pramenopause. Pria biasanya mempunyai kadar besi yang jauh lebih tinggi daripada wanita haid.1,4

MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis :

- Sesak napas mulai dengan napas yang terasa pendek sewaktu melakukan aktivitas yang cukup berat, yang biasanya tak menimbulkan keluhan. Makin lama sesak makin bertambah, sekalipun melakukan aktivitas ringan.

- Klaudikasio intermiten, suatu perasaan nyeri dan keram di ekstremitas bawah, terjadi selama atau setelah olah raga Peka terhadap rasa dingin

- Perubahan warna kulit.

- Nyeri dada kiri seperti ditusuk-tusuk atau diiris-iris menjalar ke lengan kiri.

- Nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan lama serta tidak sepenuhnya hilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin

- Dada rasa tertekan seperti ditindih benda berat, leher rasa tercekik.

- Rasa nyeri kadang di daerah epigastrikum dan bisa menjalar ke punggung.

- Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat dingin dan lemas.

Laboratorium :
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis PJK. Walaupun demikian untuk menying-kirkan diagnosis infark jantung akut sering dilakukan pe-meriksaan enzim CPK, SGOT atau LDH. Enzim tersebut akan meningkat kadarnya pada infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal.
Pemeriksaan lipid darah seperti kolesterol, HDL, LDL, trigliserida dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk mencari faktor risiko seperti hiperlipidemia dan/atau diabetes melitus.
Kadar kolesterol di atas 180 mg/dl pada orang yang berusia 30 tahun atau kurang, atau di atas 200 mg/dl untuk mereka yang berusia lebih dari 30 tahun, dianggap beresiko khusus mengidap penyakit arteri koroner.

Radiografik : Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta.

PENATALAKSANAAN :
Dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

1. Umum

2. Mengatasi iskemia yang terdiri dari :

a. Medikamentosa

b. Revaskularisasi

Penatalaksanaan Umum

1. Penjelasan mengenai penyakitnya; pasien biasanya tertekan, khawatir terutama untuk melakukan aktivitas.

2. Pasien harus menyesuaikan aktivitas fisik dan psikis dengan keadaan sekarang

3. Pengendalian faktor risiko

4. Pencegahansekunder.

Karena umumnya sudah terjadi arteriosklerosis di pem-buluh darah lain, yang akan berlangsung terus, obat pen-cegahan diberikan untuk menghambat proses yang ada. Yang sering dipakai adalah aspirin dengan dosis 375 mg, 160 mg, 80mg.

5. Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iskemia akut, agar tak terjadi iskemia yang lebih berat sampai infark miokardium. Misalnya diberi O2.

Mengatasi Iskemia
Medikamentosa

1. Nitrat, dapat diberikan parenteral, sublingual, buccal, oral,transdermal dan ada yang di buat lepas lambat

2. Berbagai jenis penyekat beta untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Ada yang bekerja cepat seperti pindolol dan pro-panolol. Ada yang bekerja lambat seperti sotalol dan nadolol. Ada beta 1 selektif seperti asebutolol, metoprolol dan atenolol.

3. Antagonis kalsium

Revaskularisasi

1. Pemakaian trombolitik

2. Prosedur invasif non operatif, yaitu melebarkan aa coronaria dengan balon.

3. Operasi. 2

BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario di atas disebutkan bahwa pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada dapat disebabkan oleh :
— nyeri yang berasal dari otot dinding thorax (neuromusculardisorders)
— Costo chondritis pada dinding dada (sindroma Tietze)
— Splenic-flexure syndrome
— fraktur tulang rusuk
— herpes zoster
— aneurysma aorta disectans
— pleuro pneumonia
— etelectosis
— pneumo thorax spontan
— emboli paru-paru
— malignancy pada paru-paru
— pericarditis
— prolaps katup mitral
— hypertensi pulmonal
— cardiomyopathia
— idiopathic hypertrophic subaortic stenosis
— stenosis katup aorta
— spasme oesophagus atau spasme cardia lambung
— hernia hiatus
— ulcus pepticum yang actif
— cholecystitis
— pancreatitis
— abses subdiaphragmatic
— kekhawatiran yang psychogenic (cardiac neurosis).5
Pada kasus ini pasien mempunyai 2 faktor resiko yang memperbesar kemungkinan menderita PJK yaitu merokok dan riwayat orang tua. Merokok meningkatkan resiko kematian akibat pengaruh PJK sebesar 1,4 hingga 2,4 kali lipat (bahkan pada perokok ringan), dan pada perokok berat meningkat hingga 3,5 kali. Mengisap rokok dengan kadar tar dan nikotin yang rendah tidak menurunkan resiko ini secara bermakna, namun resiko ini secara bermakna akan berkurang apabila berhenti merokok sama sekali. Tidak jelas bagaimana merokok menyebabkan aterosklerosis. Penyebab yang mungkin adalah perangsangan sistem saraf simpatis oleh nikotin, pergantian O2 di dalam molekul Hb dengan karbon monoksida, peningkatan daya lekat trombosit dan meningkatkan permeabilitas endotel yang dirangsang oleh unsur pokok dalam rokok4 . Faktor resiko yang kedua yaitu riwayat ayahnya yang menderita penyakit jantung koroner. PJK sebagian besar disebabkan oleh aterosklerosis yang sering dihubungkan dengan keadaan hiperkolesterolemia. Pada hiperkolesterolemia familial, kolesterol plasma sangat meningkat sejak lahir sehingga infark miokard dapat terjadi pada anak-anak. Penyebab utama adalah kelainan gen reseptor LDL yang berafinitas tinggi yang mencegah ambilan LDL dari sel. Kelainan ini akan menyebabkan : (1) berkurangnya transkripsi reseptor; (2) protein reseptor tetap di retikulum endoplasma; (3) berkurangnya pengumpulan reseptor ke dalam membran sel; (4) berkurangnya ikatan LDL; (5) endositosis abnormal. Kolesterol serum akan meningkat karena: pertama, ambilan sel terhadap LDL kaya kolesterol berkurang, dan kedua jaringan ekstra hepatik mensintesis lebih banyak kolesterol akibat berkurangnya ambilan LDL di jaringan ini gagal menghambat aksi 3-HMG-KoA reduktase yang berfungsi merangsang sintesis kolesterol.1,4
Selain kedua faktor diatas ada dua faktor lagi yang penting yaitu diabetes dan esterogen. Pada diabetes ada 3 mekanisme penting yang bisa menyebabkan kelainan pembuluh darah, antara lain : (1) Hiperglikemia menyebabkan produksi faktor pembekuan yang mengandung unsur gula seperti fibrinogen dan faktor pembekuan V-VIII menjadi berlebihan. Oleh karena itu, pada DM akan mudah sekali terjadi trombus. (2) Glukosa yang berlebihan akan diserap sel. Selanjutnya, pada sel yang mengandung enzim aldosareduktase glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Jika peristiwa ini terjadi di sel endotel akan menyebabkan permeabilitas vaskuler yang menurun. (3) Glukosa yang terikat ke gugus protein akan terjadi reaksi amidori yang menghasilkan produk akhir AGE. AGE berikatan dengan reseptornya di membran sel sehingga dapat meningkatkan pengendapan kolagen di membran basalis.
Peranan estrogen dalam patogenesis aterosklerosis diduga berhubungan dengan kadar besi tubuh. Kadar besi yang tinggi diduga dapat merusak endotel pembuluh darah. Pria biasanya mempunyai kadar besi yang jauh lebih tinggi daripada wanita haid. Sehingga sebelum menopause resiko PJK pada pria lebih tinggi dari wanita. Namun, pada suatu penelitian wanita postmenopause yang diberi estrogen tidak menurunkan resiko PJK secara signifikan. Oleh karena itu penulis belum menemukan hubungan antara estrogen dengan resiko PJK.

Pada skenario ini, satu-satunya keluhan yang dialami pasien adalah adanya nyeri dada, sedangkan pada pemeriksaan fisik dan anamnesis semuanya normal/tidak ada kelainan. Informasi yang didapat dari anamnesis pasien sebenarnya kurang lengkap, karena kita tidak tahu seperti apa rasa nyeri pada dada yang dialami oleh pasien. Apakah itu seperti ditusuk-tusuk, terbakar ataupun seperti rasa tertekan, berat atau penuh di dada. Berapa lama rasa nyeri itu timbul. Apakah nyeri dada tersebut sebelumnya sudah pernah terjadi dan sejauh ini sudah berapa kali. Keterangan seperti ini setidaknya akan membantu memberi gambaran awal apakah pasien menderita kelainan jantung atau tidak dan jenis dari serangan anginanya.
Dari keterangan yang ada pada skenario, penulis menduga pasien menderita angina psikogenik/sindrom DaCosta sedangkan Diferensial diagnosisnya adalah angina tak stabil, angina stabil, STEMI (ST elevation myocardial infarction), dan NSTEMI (non ST elevation myocardial infarction). Dari ke-empat diferensial diagnosis di atas, angina tak stabil, STEMI dan NSTEMi merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA).
Angina psikogenik/sindrom DaCosta adalah nyeri dada yang timbul pada orang yang takut mengalami serangan jantung (terutama pada orang yang mempunyai riwayat keluarga pernah mengalami serangan jantung) (Lecturer note galih). Nyeri dada yang timbul berupa rasa seperti ditusuk dan terletak pada bagian apeks jantung.
Angina tak stabil dan NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis, penatalaksanaan keduanya-pun tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi UA (unstable angina) menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung, seperti: troponin maupun CK-MB. Gambaran klinis UA, antara lain: nyeri dada > 20 menit, dapat disertai sesak napas, mual sampai muntah, terkadang disertai keringat dingin, sedangkan pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ada yang khas
Pada STEMI diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan pada EKG elevasi ST>2 mm, minimal pada sadapan 2 ekstremitas, troponin T yang meningkat dapat memperkuat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat, ekstremitas pucat disertai keringat dingin, nyeri dada substernal > 30 menit, tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung I dan split paradoksikal bunyi jantung II, dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik, dan peningkatan suhu sampai 38˚C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.
Pada angina pectoris stabil, nyeri dada timbul mulai dari beberapa menit sampai < 20 menit, yang tadinya agak berat akan berangsur-angsur turun kuantitas dan intensitasnya dengan atau tanpa pengobatan, kemudian menetap (misalnya beberapa hari sekali atau baru timbul pada beban/stress tertentu). Pada sebagian pasien lainnya, nyeri dadanya bahkan berkurang sampai akhirnya hilang (asimtomatik), walaupun sebetulnya tanda iskemia tetap dapat terlihat pada EKG istirahatnya, sedangkan pasien-pasien yang lain yang juga asimtomatik dapat mempunyai hasil EKG istirahat yang normal, dan iskemia baru terlihat pada stres tes. Pemeriksaan fisik pada kebanyakan pasien menunjukkan hasil yang normal, namun dapat juga didapatkan adanya kelainan seperti aritmia, gallop, murmur, split S2 paradoksal dan ronki basah basal paru apabila pemeriksaan dilakukan pada saat serangan nyeri.2,5
BAB IV
KESIMPULAN

SIMPULAN

1. Penyakit jantung koroner merupakan kelainan miokardium akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh arteriosklerosis yang merupakan proses degeneratif meskipun di pengaruhi oleh banyak faktor.
2. Penyebab penyakit jantung koroner adalah terjadinya penyempitan aliran darah ke otot jantung yang terjadi akibat penebalan lapisan tunika intima dan rupturnya plak yang diikuti oleh pembentukan trombus.
3. Pada penyakit jantung arteriosklerosis di kenal 2 keadaan ketidakseimbangan Masukan kebutuhan oksigen yaitu terjadi hipoksemi karena kelainan vaskular dan hipoksia karena kekurangan oksigen dalam darah.
4. Pada saat serangan EKG akan menunjukkan depresi segmen ST dan gelombang T dapat menjadi negatif.
5. Pasien menderita angina psikogenik.



SARAN

1. Anamnesis dilakukan lebih mendalam.
2. Perkembahan kesehatan pasien terus diawasi.
4. Pasien diberikan penjelasan tentang penyakitnya.
3. Dilakukan terapi paliatif dan psikologi.




BAB V
DAFTAR PUSTAKA


1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404.
2. Santoso M., Setiawan T. 2005. Penyakit Jantung Koroner. www.kalbe.co.id.
3. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.
4. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 176-249.
5. Abdurrahman, Nurhay. 1983. Angina Pektoris. www.kalbe.co.id.
6. Manson, JoAnn E. Et all. 2003. Estrogen Plus Progestin and the Risk of Coronary Heart Disease. www.nejm.com.