BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan ditambah organ-organ pencernaan tambahan (aksesori). Fungsi utama sistem pencernaan adalah untuk memindahkan zat gizi atau nutrien, air, dan elektrolit dari makanan yang kita makan ke dalam lingkungan internal tubuh. Makanan sebagai sumber ATP untuk menjalankan berbagai aktivitas bergantung energi, misalnya transportasi aktif, kontraksi, sintesis, dan sekresi. Makanan juga merupakan makanan sumber bahan untuk perbaikan, pembaruan, dan penambahan jaringan tubuh. Sistem pencernaan tidak dapat melaksanakan fungsinya jika dalam keadaan terganggu.
Walaupun sistem pencernaan mempunyai manfaat yang sangat besar dalam kehidupan kita, akan tetapi tidak jarang juga kelainan pada sistem ini juga dapat mengakibatkan kematian. Salah satunya adalah apendisitis, penyakit ini merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi dan tindakan bedah segera mutlak diperlukan pada apendisitis akut untuk menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya seperti peritonitis generalisata. Pada laporan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sistem pencernaan dan gangguannya, khususnya apendisitis dan peritonitis.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaimana anatomi dari apendiks dan peritoneum ?
2.Bagaimana patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien di skenario dua ini?
3.Apa diagnosis penyakit yang dialami pasien di skenario dua ini ?
4. Apa saja gejala-gejala dari penyakit apendisitis dan peritonitis ?
5.Bagaimana penatalaksanaan untuk kasus di skenario ini ?
C. Tujuan Penulisan
1.Memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran sistem gastrointestinal terutama yang berkaitan dengan skenario.
2.Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem gastrointestinal untuk memecahkan masalah dalam skenario.
3.Memenuhi tugas individu tutorial skenario 2 Blok XIV Sistem Gastrointestinal.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat sebagai sarana pembelajaran mahasiswa dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem Gastrointestinal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Anatomi Apendiks Vermiformis dan Peritoneum
1.Apendiks Vermiformis
Apendiks merupakan tonjolan buntu/sisa dari apeks caecum yang belum diketahui fungsinya pada manusia (Budianto (ed), 2003;Lindseth, 2006). Panjang apendiks kira-kira 2-20 cm terletak di fossa iliaca dextra, kebanyakan terletak intraperitoneal dan dapat digerakkan (Budianto (ed), 2003). Struktur apendiks berupa tabung yang panjang, sempit dan mengandung arteri apendikularis (vasa darah yang memvaskularisasi apendiks) yang merupakan suatu arteria terminalis/end-artery (lindseth, 2006). Penentuan letak pangkal dan ujung apendiks dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• Menurut garis Monroe-Pichter
Garis ini diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, pangkal apendiks terletak 1/3 lateral garis ini yang biasa disebut titik Mc Burney.
• Menurut garis Lanz
Diukur dari SIAS dextra sampai SIAS sinistra, ujung apendiks ada pada titik 1/6 lateral dexter.
(Budianto (ed), 2003)
2.Peritoneum
Peritoneum merupakan membran serosa tipis dan licin yang melapisi bagian dalam dinding cavitas abdominalis serta membungkus sebagian atau seluruh viscera abdominis (Budianto (ed), 2003).
B. Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Patogenesis utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen, sumbatan ini akan mengakibatkan hambatan pengeluaran sekret lumen sehingga akan terjadi pembengkakan, infeksi dan ulserasi (Lindseth, 2006). Sumbatan ini dapat dikarenakan hiperplasia jaringan limfoid, fekalit, tumor apendiks, cacing askaris dan E.histolytica (Pieter (ed), 2005). Berdasarkan lama gejala yang dialami, apendiks dapat dibagi menjadi dua; yaitu:
1. Apendisitis Akut
Gejala klasik pada apendiks akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar umbilikus berlangsung antara 1-2 hari, dalam beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah (titik Mc Burney) dengan disertai mual, anoreksia dan muntah (Lindseth, 2006). Pada pemeriksaan akan ditemukan pasien mengalami demam ringan dengan suhu antara 37,5-38,5˚C dan leukositosis sedang, bila suhu lebih tinggi kemungkinan besar telah terjadi perforasi (Lindseth, 2006;Pieter (ed), 2005). Pada inspeksi perut tidak didapatkan gambaran yang khas.
2. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronk apendiks secara makroskopik dan mikroskopik, dan keluhan menghilang setelah apendektomi (Peiter (ed), 2005). Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik (Pieter (ed), 2005).
C. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan penyulit berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen (misal: apendisitis dan salpingitis), perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen (Lindseth, 2006). Gejala dan tanda yang terjadi bervariasi bergantung pada luas peritonitis, beratnya peritonitis dan jenis organisme penyebabnya. Gejala yang timbul biasanya demam, leukositosis, nyeri abdomen (biasanya terus-menerus), muntah, abdomen yang tegang dan kaku, nyeri tekan lepas dan tanpa bunyi (Lindseth, 2006). Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata yang dapat menimbulkan ileus paralitik.
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan dari keluhan yang dialami oleh pasien perempuan pada skenario dua ini, ada dua tahapan yang patut dicermati, yaitu kunjungan pertama dan kunjungan kedua pasien ke rumah sakit. Pada kunjungan pertama, pasien mengeluhkan nyeri perut bagian bawah sejak 1 hari lalu, mual, muntah, suhu badan 37,5˚C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada daerah Mc Burney, defans muskular negatif, bising usus normal, lekosit 11.000/dl dan nyeri tekan jam 10-11 pada RT (Rectal Toucher). Gejala-gejala tadi merupakan gejala khas pada apendisitis akut, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa pasien menderita apendisitis.
Pada kunjungan kedua, pasien mengeluhkan nyeri seluruh perut, kembung, ada gangguan BAB. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 100/70 mmHg, nadi 120 kali/menit, RR 28 kali/menit, suhu 39˚C, bising usus hilang, nyeri tekan di seluruh perut, defans muskular positif, tonus sphincter ani menurun, distensi abdomen ringan, dan nilai leukosit 20.000/dl. Kalau dilihat dari informasi di atas, penyakit apendisitis pasien telah berkomplikasi menjadi peritonitis generalisata.
Suhu tinggi yang dialami oleh pasien disebabkan karena adanya perubahan set point termostat hipotalamus akibat diinduksi oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri (seperti endotoksin ataupun eksotoksin) maupun oleh zat-zat hasil dari peristiwa peradangan, seperti IL-1 (Guyton dan Hall, 2007). Perubahan set point ini akan direspon tubuh dengan cara meningkatkan metabolisme sel basal melalui mekanisme rangsang simpatis untuk memperoleh panas (selama proses pembentukan ATP sekitar 35% energi berubah menjadi dalam bentuk panas) agar sesuai dengan set point di hipotalamus, peristiwa ini akan diikuti dengan peningkatan denyut nadi dan pernapasan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat (Guyton dan Hall, 2007). Itulah alasan mengapa RR dan nadi juga ikut meningkat pada kasus ini. Alasan mengapa tensi pasien turun cukup tajam, mungkin hal ini akibat sepsis yang juga diderita pasien. Tanda sepsis pada pasien ini antara lain: Suhu >38˚C, Denyut jantung/nadi >90 kali/menit, RR >20/menit, hitung leukosit >12.000/dl dan sumber infeksinya telah diketahui (Hermawan, 2006). Pada peristiwa sepsis umumnya diikuti oleh bakteriemia, bakteriemia yang luas dan berat tentu akan diikuti peningkatan jumlah leukosit sehingga akan terjadi peristiwa fagositosis besar-besaran di dalam tubuh. Peristiwa fagositosis ini akan menghasilkan mediator inflamasi berupa vaso aminoaktif yang mempunyai efek vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Wilson, 2006). Peningkatan permeabilitas vaskular tentu akan mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena/venous return akibat transudasi cairan plasma intravaskular ke ekstravaskular, hal ini akan mengakibatkan cardiac output berkurang, sedangkan vasodilatasi akan mengakibatkan berkurangnya resistensi pembuluh darah. Kita tahu bahwa, BP = CO x PVR (BP=blood pressure, CO=cardiac output , PVR=peripheral vascular resistence) (Guyton dan Hall, 2007; Sherwood, 2001), sehingga apabila resistensi pembuluh darah turun dan atau cardiac output turun, tentu tekanan darah juga akan turun.
Pasien tidak bisa kentut, adanya gangguan BAB, bising usus hilang dan tonus sphincter ani menurun mengindikasikan bahwa pasien mengalami ileus paralitik. Akibat adanya kelumpuhan/paralisis ini, maka gerakan peristaltik usus akan menghilang sehingga bising usus juga akan hilang. Hilangnya gerakan peristaltik usus juga akan menyebabkan gangguan BAB karena transportasi sisa pencernaan makanan dari usus ke rectum terhenti, hal ini akan menyebabkan lumen usus mengalami obstruksi sehingga gas hasil pencernaan (kentut) juga tidak bisa keluar. Tertahannya gas dalam perut maupun sisa pencernaan makanan (feces) akan menyebabkan perut penderita menjadi kembung.
Rasa nyeri tekan di seluruh perut pada skenario, akibat proses peradangan di seluruh peritoneum. Sedangkan defans muskular positif (umumnya terdapat pada peritoneum generalisata) terjadi sebagai respon tubuh untuk menghindari rasa nyeri ketika akan dipalpasi oleh dokter, hal ini mirip dengan seseorang karateka yang sedang melatih kekuatan perut, dimana salah satu karateka memukul salah satu perut karateka yang lain, maka karateka yang akan dipukul tadi secara reflek dia akan mengkontraksikan otot-otot perutnya agar rasa nyerinya berkurang saat dipukul.
Prinsip umum pengobatan pada kasus apendisitis yang telah mengalami komplikasi berupa peritonitis adalah dengan pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran gastrointestinal dengan penyedotan intestinal atau nasogastrik, penggantian cairan dan elektrolit yang hilang secara intravena, tirah baring dalam posisi Fowler, pembuangan fokus septik (apendisitis dengan cara apendektomi) dan tindakan untuk menghilangkan rasa nyeri.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pasien menderita apendisitis yang telah berkomplikasi menjadi peritonitis generalisata.
2. Terapi pembedahan mutlak diperlukan untuk menghilangkan sumber septik.
B. Saran
1. Seorang dokter seharusnya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi seorang pasien untuk menjalani sebuah metode terapi agar tidak terjadi keterlambatan pengobatan sehingga komplikasi penyakit yang lebih berat dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto (ed). 2003. Guidance to Anatomy II Edisi Pertama (Revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS
Guyton AC dan Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hermawan AG. 2006. “Sepsis” in Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Lindseth GN. 2006. ”Gangguan Lambung dan Duodenum” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.
Peiter J (ed). 2005. ”Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum” in Sjamsuhidajat R dan Wim de Jong (ed). 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi II. Jakarta: EGC.
Wilson LM. 2006. ”Respon Tubuh Terhadap Cedera” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar