Jumat, 27 Maret 2009

Sakit perut

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diare adalah suatu gejala klinis dan gangguan saluran pencernaan (usus) yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi Iebih dan biasanya (berulang-ulang), disertai adanya perubahan bentuk dan konsistensi dan faeses menjadi lembek atau cair. Di Indonesia penyakit diare (mencret) masih merupakan masalah di bidang kesehatan terutama di daerah pedesaan. Angka kesakitan penduduk sekitar 15–43% tiap tahun. Dari jumlah tersebut 60–80% diderita oleh anak balita. Angka kematian yang disebabkan oleh diare mengalami penurunan dari 12,4% (1986) menjadi 7,5% (1992), dan urutan penyebab kematian karena infeksi menduduki urutan ke-3 setelah penyakit tuberkulosis dan infeksi saluran nafas. Menurut daftar kunjungan ke Puskesmas/Balai Pengobatan, angka kunjungan karena penyakit tersebut menduduki urutan ke 3. Dan hasil survai penggunaan obat tradisional di Kalimantan Timur penyakit diare termasuk yang sering dikeluhkan oleh masyarakat(1,2). Faktor penyebab terjadinya diare antara lain infeksi kuman Penyebab diare, keadaan gizi, higiene dan sanitasi, sosial budaya, musim, sosial ekonomi dan lain-lain. Masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan resmi sangat tergantung pada alam sekeliling bagi kesehatan termasuk menanggulangi diare.

Pengetahuan tentang diare dan penyakit yang berhubungan dengannya sangat diperlukan bagi mahasiswa kedokteran. Oleh karena itu, pada skenario ini kita akan membahas tentang diare, gastritis dan beberapa penyakit yang berhubungan dengannya.

B. Analisis Masalah

Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu :

a) Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?

b) Apa diagnosis penyakit diatas ?

c) Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini?

d) Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien?

e) Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

C. Tujuan Penulisan

a) Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada gastritis dan diare.

b) Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada gastritis dan diare.

c) Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

d) Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem pencernaan pada kasus di atas.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :

a. membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;

b. mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;

c. menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler; dan

d. menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DIARE

Istilah diare digunakan jika feses kehilangan konsistensi normalnya yang padat. Hal ini biasanya berhubungan dengan peningkatan beratnya (pada laki-laki>235 g/hari dan perempuan>175g/hari) dan frekuensinya (>2 perhari). Diare dapat memiliki banyak penyebab :

- Diare osmotic : terjadi akibat asupan sejumlah makanan yang sukar diserap bahkan dalam keadaan normal atau pada malabsorbsi. Termasuk dalam kelompok pertama adalah sorbitol(ada dalam obat bebas gula dan permen serte buah-buahan tertentu), fruktosa (jeruk, lemon, berbagai buah, madu), garam magnesium (antasida, laktasif) serta anion yang sukar diserap seperti sulfat, fosfat atau sitrat.

Zat yang tidak diserap bersifat aktif secara osmotic pada usus halus sehingga menarik air ke dalam lumen. Dan hal ini tergambarkan dalam beberapa percobaan. Misalnya, asupan zat yang tidak diserap sebesar 150 mmol dalam 250 mL air akan memulai sekresi air secara osmitik di duodenum sehingga volumenya meningkat hingga 750 mL.

Pada malabsorbsi karbohidrat, penurunan absorbsi Na di usus halus bagian atas menyebabkan penyerapan air menjadi berkurang . Aktivitas osmotic dari karbohidrat yang tidak diserap juga menyebabkan sekresi air. Akan tetapi, bakteri di dalam usus besar dapat memetabolisme karbohidrat yang tidak diserap hingga sekitar 80 g/hari menjadi asam organic yang berguna untuk menghasilkan energi, yang bersama-sama dengan air akan diserap di dalam kolon. Hanya gas yang dihasilkan dalam jumlah besar yang akan memberikan bukti terjadinya malabsorbsi karbohidrat. Namun, jika jumlah yang tidak diserap >80 g/hari atau bakteri usus dihancurkan oleh antibiotic , akan terjadi diare.

- Diare sekretorik : dalam pemahaman yang lebih sempit terjadi jika sekresi Cl di mukosa usus halus diaktifkan. Di dalam sel mukosa , Cl secara sekunder aktif diperkaya oleh pembawa simport Na-K-2Cl basolateral dan disekeresi melalui kanal Cl di dalam lumen. Kanal ini akan lebih sering membuka ketika konsentrasi cAMP intrasel meningkat. cAMP dibentuk dalam jumlah yang lebih besar jika terdapat misal laktasif dan toksin bakteri tertentu (kolera). Toksin kolera menyebabkan diare massif (hingga 1000mL/jan) yang dapat secara cepat mengancam nyawa akibat kehilangan air, K dan HCO3.

Pembentukan VIP (vasoactive intestinal peptide) yang berlebihan oleh sel tumor pulau pancreas juga menyebabkan tingginya kadar cAMP di mukosa usus sehingga mengakibatkan diare yang berlebihan dan mengancam nyawa yang biasa disebut dengan kolera pankreatik.

Terdapat beberapa alasan mengapa diare terjadi setelah reaksi ileum dan sebagian kolon. Garam empedu, yang normalnya diabsorbsi di ileum, akan mempercepat aliran yang melalui kolon(absorbsi air menurun). Selain itu, garam empedu yang tidak diserap akan dehidroksilasi oleh bakteri dikolon. Metabolit garam empedu yang terbentuk akan merangsang sekresi NaCl dan H2O dikolon. Akhirnya, juga terjadi kekurangan absorbsi aktif Na pada segmen usus yang direseksi.

GASTRITIS

Secara sederhana gastritis dapat dibedakanatas tiga tipe utama :

- gastritis hemoragik dan erosif.

- gastritis aktif kronis, non erosif.

- gastritis atrofi (kelenjar fundus)

Gastritis hemoragik dan erosif dapat disebabkan beberapa hal, misalnya :

- Penggunaan obat AINS, memiliki efek perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik.

- Iskemia.

- Stres.

- Penyalahgunaan alkohol, zat kimia korosif.

- Trauma dan radiasi.

Gastritis tipe ini dapat secara cepat menyebabkan ulkus akut, dengan resiko perdarahan lambung yang masif atau perforasi dinding lambung.

Gastritis aktif, non-erosif biasanya terbatas pada antrum. Pada beberapa dekade terakhir penyebab penentunya telah semakin jelas, yaitu kolonisasi bakteri helocobacter pylory pada antrum yang secara efektif dapat diobati dengan antibiotik. Kolonisasi helocobacter tidak hanya mengurangi perlindungan mukosa, tetapi dapat juga merangsang lepasnya gastrin antrum dan sekresi getah lambung di fundus, suatu kondisi yang membantu terjadinya ulkus kronis.

Gastritis reaktif terjadi di sekeliling gastritis erosif, ulkus atau luka operasi. Gastritis reaktif yang terjadi di sekeliling luka operasi, sebagian terjadi setelah dilakukan operasi di daerah antrum atau pilorus akibat refluks enterogastrik, menyebabkan enzim dari pankreas dan usus serta garam empedu menyerang mukosa lambung. Di sisi lain, getah usus yang alkalis akan menetralkan pelepasan gastrin, dan keadaan ini juga merupakan media yang buruk bagi helicobacter pylori sehingga pada gastritis reaktif kolonisasi helicobacter pylori akan berkurang.

Gastritis atrofi (kelenjar fundus) paling sering terbatas di fundus, memiliki penyebab yang sangat berbeda. Pada keadaan ini, getah lambung dan plasma biasanya mengandung autoantibodi terhadap bagian atau produk sel parietal seperti lipoprotein mikrosom, reseptor gastrin, karboanhidrase, H+/K+ ATPase dan faktor intrisik. Akibatnya, sel parietal menjadi atrofi dan menyebabkan sekresi asam dan faktor intriksik menjadi sangat menurun. Antibodi faktor intrinsik juga menghambat ikatan kobalamin dengan faktor intrinsik yang akhirnya menyebabkan defisiensi kobalamin dengan anemia pernisiosa. Pada gastritis atrofi, gastrin akan dilepaskan lebih banyak sebagai respon terhadap hal ini dan sel pembentuk gastrin mengalami hipertrofi. Hiperplasia sel yang menyerupai enterokromafin(ECL) mungkin terjadi akibat kadar gastrin yang tinggi. Sel ini mengangkut reseptor gastrin dan berperan untuk menghasilkan histamin di dinding lambung. Hiperplasia sel ECL ini kadang-kadang berkembang menjadi karsinoid. Akan tetapi bahaya utama pada gastritis atrofi adalah metaplasia mukosa yang luas, merupakan keadaan prakanker shingga dapat menyebabkan karsinoma lambung.

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP, hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan kelainan penderita akibat sistem pernapasan. Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut penulis terhadap kasus dalam skenario.

Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).

Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.

Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.

Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.

2. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.

B. Saran

1. Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu penurunan tekanan darah selain menggunakan terapi farmakologis.

2. Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan non-farmakologis secara teratur guna mengontrol tekanan darahnya.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404.

2. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.

3. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp: 176-249.

4. Joesoef, H. Andang; Setianti, Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : FK UI.

5. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.

6. Cutler, Jeffrey A., et al. . 2008. Trends in Hypertension Prevalence, Awareness, Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988 1994 and 1999 2004. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/52/5/818.

7. Hermawan, Guntur. 2008. BED SIDE TEACHING. Surakarta : Kesuma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar