Pendahuluan
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang mempunyai karakteristik penurunan sintesis rantai globin. Penurunan sintesis rantai globin membuat penurunan produksi hemoglobin sehingga menyebabkan anemia hipokromik mikrositik karena defek pada hemoglobonisasi eritrosit. Thalassemia bisa berkembang menjadi anemia hipoproliferative, anemia hemolitik, dan anemia dengan hemoglobin abnormal.
Hemoglobin pada orang dewasa yang normal pada sirkulasi terdiri dari 98% HbA. HbA dibentuk oleh tetramer- 2 rantai a dan 2 rantai b- dan biasa disebut a2b2. Dua copy gen yang mengkode a-globin terletak pada kromosom 16. Sedangkan gen yang mengkode b-globin terletak pada kromosom 11 yang juga mengkode b-like globin, rantai d dan gama(g). Tetramer a2d2 disebut HbA2, yang menyusun 1-2% Hb dalam sirkulasi. Sedangkan tetramer a2g2 disebut HbF, yang menyusun hemoglobin fetus dan pada orang dewasa jumlahnya kurang dari 1%.
a-Thalassemia terjadi delesi pada gen yang mengkode sintesis a-globin. Semua hemoglobin dewasa mengandung alfa globin sehingga akan terjadi penurunan pada HbA2, HbA dan HbF. Sehingga pada a-thalassemia yang berat akan terbentuk tetrame B4 yang disebut HbH.
Table 13–4. a-Thalassemia syndromes.
a-Globin Genes
Syndrome
Hematocrit
MCV
4
Normal
Normal
3
Silent carrier
Normal
2
Thalassemia minor
28–40%
60–75 fL
1
Hemoglobin H disease
22–32%
60–70 fL
0
Hydrops fetalis
b-thalasemia lebih banyak disebabkan oleh point mutasi daripada delesi. Akibat mutasi ini adalah pembentukan rantai yang prematur, gangguan transmisi RNA dan yang pada akhirnya membuat penurunan produksi rantai beta. Mutasi bisa bersifat tunggal atau heterogen yang diperlihatkan pada tabel dibawah ini. Pada penurunan sintesis rantai beta akan terjadi kelebihan rantai alfa yang bersifat tidak stabil dan akan menjadi presipitat, yang berakibat pada membran sel menjadi tidak stabil. Sehinngga hal ini akan menyebabkan hemolisis intramedular dan perifer. Tulang belakan akan menjadi hiperplastik untuk mengkompensasi anemia, dan inefektif eritropoiesis akan menyebabkan eritroid sel hemolisis di intrameduler. Pada kasus yang berat akan terjadi ekspansi sel-sel eritroid pada sumsum tulang yang bisa menyebabkan deformitas yang patologis, osteopenia dan patologik fraktur.
Manifestasi klinik
Tanda-tanda dan gejala.
Thalassemia alfa kebanyakan diderita oleh penduduk dari southeast asia dan china serta sedikit orang berkulit hitam. Normalnya, orang dewasa mempunyai 4 copy a-globin. Ketika hanya mempunyai 3 copy saja maka penderita tetap dalam keadaan normal (silent carier). Ketika hanya mempunyai 2 copy saja maka pederita seperti ini dinamakan thalassemia trait, salah satu dari thalassemia minor. Pasien seperti ini mempunyai penampakan klinik yang normal, dengan anemia mikrositik ringan. Ketika hanya mempunyai 1 a-globin saja, pasien dinamakan HbH disease. Pada pasien sering ditemukan reveal pallor dan splenomegali. Walaupun dalam keadaan normal tidak memerlukan transfusi, namun dalam keadan eksaserbasi hemolitik yang bisa disebabkan oleh infeksi atau stress yang lain transfusi sangat diperlukan.
Thalassemia beta sebagian besar diderita oleh orang suku mediterania(italia, yunani) dan lebih sedikit pada orang cina, asia dan kulit hitam. Pasien dengan homozigous thalassemia-b termasuk thalassemia mayor. Ketika menyerang bayi pada awalnya bayi tersebut masih normal, namun ketika sudah lebih dari 6 bulan akan menampakkan gejala anemia yang berat sehingga membutuhkan transfusi. Beberapa masalah klinik yang terjadi pada penderita ini antara lain kegagalan pertumbuhan, deformitas tulang, hepatosplenomegali, dan ikterik. Masalah klinik tersebut bisa diatasi dengan pemberian transfusi, tetapi transfusi yang berlebihan akan menyebabkan kelebihan besi(hemosiderosis) yang bermanifetasi pada hemokromatosis, gagal hati, sirosis dan endokrinopati, biasanya muncul setelah pemberian lebih dari 100 unit. Keadaan ini muncul karena tubuh tidak dapat mengekskresi kelebihan besi akbibat transfusi sel darah merah. Sebelum ditemukan teknologi stem sel dan kelasi besi yang efektif, biasanya penderita mati pada usia 20-30 tahun akibat gagal jantung.
Pasien yang menderita thalassemia intermedia, akan menderita anemia hemolitik mikrositik tapi tidak membutuhkan transfusi kecuali jika terdapat stress. Pada pasien ini juga mungkin terjadi kelebihan besi sehingga terjadi deformitas tulang dan hepatosplenomegali. Pasien dengan heterozigot thalassemia akan menderita thalassemia minor. Diagnosis prenatal bisa dilakukan sehingga penanganan dan pencegahan sudah dapat dilakukan sejak dini.
B. Temuan Laboratorium
1. a- thalassemia trait
Pasien dengan dua gen rantai globin menunjukkan anemia ringan, dengan hematokrit antara 28%-40%. MCV menurun sedikit (60-75), dan hitung sel darah merah biasanya normal atau meningkat. Penampakan sel darah merah di perifer antara lain mikrositik, hipokromik, sel target dan akantosis. Hitung Retikulosit dan besi biasanya normal. Pada elektroforesis hemoglobin tidak menunjukkan adanya peningkatan HbA2 dan HbF serta tidak ditemukan HbH.
2. HbH disease
Pada pasien ini sudah menampakkan gejala hemolisis, dengan hematokrit antara 22%-32%. MCV sedikit turun (60-70) dan pada pengecatan sel darah merah ditemukan hipokromik, mikrositis, sel target dan poikilositosis. Hitung retikulosit meningkat. Pada elektrofosesis hemoglobin ditemukan peningkatan HbH dengan jumlah sekitar 10-40% total Hb.
3. B-Thalassemia Minor
Hematokrit pada pasien ini antara 28% dan 40%. MCV antara 55-75, dengan hitung eritrosit normal atau meningkat. Pada pengecatan darah perifer ditemukan hipokromik, mikrositik, dan target sel. Perbedaan dengan a-thalassemia adalah basopilic stippling mungkin ditemukan. Hitung retikulosit normal atau sedikit meningkat. Pada elektroforesis hemoglobin tanpak peningkatan HbA2 sampai 4-8% dan peningkatan HbF sampai 1-5%.
4. B-Thalassemia mayor
B-Thalassemia mayor menampakkan anemia yang berat, tanpa transfusi pada pasien ini hematokrit kurang dari 10% . Pengecatan darah tepi terdapat penampakan poikilositosis yang berat, hipokromik, mikrositik, sel target, basophilic stippling dan sel darah merah berinti. HbA hanya sedikit ditemukan. Beberapa HbA2 juga juga ditemukan dan sebagian besar hemoglobin adalah HbF.
Pengobatan
Pasien dengan anemia ringan(a-thalassemia trait dan b-thalassemia minor) tidak membutuhkan penanganan dan harus diidentifikasi apa jenisnya dan diberi terapi untuk mengatasi kekurangan besi. Pasien dengan HbH disease harus diberi folat, besi dan oxidative drugs seperti sulfonamides. Pasien dengan thalassemia berat penanganannya terdiri dari reguler transfusi dan suplementasi folat. Splenektomi dilakukan jika hipersplenisme menyebabkan peningkatan kebutuhan transfusi. Deferoxamine diberikan rutin sebagai kelasi besi. Deferipone merupakan kelasi besi baru yang digunakan secaa klinik di eropa dan tidak digunakan di USA. Diet rendah besi bisa memperbaiki keadaan.
Transplantasi sumsum tulang bisa menjadi pilihan terapi untuk b-thalassemia mayor.Pada anak kelebihan besi dan toksisitas organ yang kronik sering terjadi, dengan kejadian lebih dari 80% kasus.
Sumber : Current MED 2007.
Selasa, 24 Februari 2009
Anemia Sel Sabit
Anemia Sel Sabit
PENDAHULUAN
Anemia sel sabit merupakan autosomal recessive disorder yang menyebabkan keabnormal pada hemoglobin sehingga terjadi hemolisis yang mengakibatkan manifestasi klinik. Pada anemia ini terjadi perubahan 1 base DNA yang mengakibatkan perubahan glutamin menjadi valin pada b-globin. Jika HbS ini mengalami oksidasi maka akan menyebabkan kerusakan membran. Sebenarnya polimer HbS dan kerukan membran yang dini dapat pulih kembali. Namun, jika kerusakan yang diakibatkan terlalu sulit untuk diperbaiki maka eritrosit akan berubah menjadi sabit yang irreversibel.
Kecepatan perubahan menjadi berbentuk sabit dipengaruhi oleh beberapa faktor dan faktor yang paling penting adalah banyaknya HbS dalam eritrosit. Eritrosit yang dehidrasi akan menyebabkan sel mudah menjadi sabit. Hemoglobin yang lain juga mempunyai pengaruh kuat dalam perubahan ini. Akibat adanya HbS, HbF tidak dapat bergabung dengan polimer, dan keadaan ini memperlambat proses perubahan menjadi sabit. Faktor lain yang meningkatkan perubahan eritrosit adalah meningkatnya deoksihemoglobin HbS akibat asidosis dan hipoksemia.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda-tanda
HbS gen dibawa oleh 8% orang amerika berkulit hitam dan 1 dari 400 kelahiran pada orang Amerika berkulit hitam menderita anemia sel sabit. Onset kelainan ini sudah muncul pada awal kehidupan yaitu saat menunrunnya HbF yang disebabkan penurunan produksi gama-globin yang digantikan b-globin.
Hemolitik yang kronik menyebabkan ikterus, pigment(calcium bilirubinate) gallstones, splenomegali dan ulserasi pada tibia bagian bawah. Komplikasi selanjutnya yaitu ketidakmampuan sel darah merah untuk mengkompensasi yang disebabkan oleh infeksi atau defisiensi folat. Krisis hemolitik mungkin berhubungan dengan penghancuran sel sabit oleh limpa atau defisiensi enzim G6PD.
Rasa nyeri yang akut mungkin terasa pada saat terjadi penyumbatan pembuluh darah yang dapat diprofokasi oleh infeksi, dehidrasi dan hipoksia. Sumbatan tersebut diakibatkan oleh agregasi eritrosit yang berbentuk sabit yang menyumbat mikrovaskuler dari organ tertentu. Episode sumbatan tersebut dapat berjam-jam bahkan berhari-hari. Lokasi yang sering terkena serangan tersebut adalah tulang panjang, tulang belakang dan chest. Sumbatan tersebut dapat menyebabkan stroke, sinus trombosis dan priapism. Episode sumbatan tersebut tidak berhubungan meningkatnya hemolisis.
Episode sumbatan yang berulang dapat menyebabkan kerusakan beberapa organ khususnya hati dan ginjal. Jika terjadi iskemik pada tulang maka akan terjadi nekrosis, selain itu juga bisa menjadi osteomielitis. Infark dari papila pada medula ginjal menyebabkan defek konsentrasi tubular ginjal dan gross hematuria, yang kejadian ini lebih banyak menyerang pada sickle cell trait dari pada sickle cell anemia. Retinopati juga salah satu komplikasi anemia sel sabit yang juga bisa disebabkan oleh diabetes yang akan berakibat pada kebutaan.
Pada klinik biasanya pasien menderita sakit yang kronik dan ikterus. Penderita biasanya hepatomegali, namun limpa tidak teraba pada orang dewasa. Jantung sering membesar dengan disertai hyperdynamic precordium dan systolyc mumurs. Ulserasi pada tungkai bawah dan retinopati juga mungkin ditemukan. Anemia sel sabit menyebabkan kerusakan multisistem yang kronik, dengan kematian dan kegagalan organ. Dengan terapi suportif harapan hidup penderita 40 sampai 50 tahun.
Temuan Laboratorium
Hemolisis yang kronik ditemukan pada anemia sel sabit. Hematokrit biasanya 20-30%. Pengecatan darah perifer tampak abnormal yaitu 5-50% eritrosit berbentuk sel sabit. Selain itu juga ditemukan retikulositosis(10-25%), eritrosit berinti, howel-jolly bodies dan sel target.
Pemeriksaan laboratorium sebagian besar hanya digunakan untuk skrining, sedangkan untuk diagnosis pasti menggunakan elektroforesis hemoglobin. Hemoglobin S memperlihatkan abnormal migration pattern dan menyusun 85-98% hemoglobin. Pada homozigot HbS disease, HbA tidak ditemukan. Hemoglobin F biasanya meningkat dan HbF yang meningkat berhubungan dengan perbaikan gejala klinik.
PENATALAKSANAAN
Sebenarnya tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit primer. Pasien diberikan asam folat dan transfusi untuk menanggulangi krisis hemolitik. Vaksinasi pneumokokus tebukti bisa mengurangi infeksi bakteri tersebut pada pasien.
Ketika timbul nyeri akut, faktor pencetus harus segera diidentifikasi dan infeksi harus segera diobati. Pasien harus diberi cukup cairan dan oksigen jika terjadi hipoksia.
Penyumbatan pembuluh darah yang akan dapat diatasi dengan pemberian transfusi pengganti. Hal tersebut merupakan indikasi untuk diberi penatalaksanaan intractable pain crises, priapism dan stroke.
Pasien juga perlu diberikan agen sitotoksin yang dapat meningkatkan HbF dengan menstimulasi eritropoiesis pada prekrusor eritroid yang masih primitif. Hidroksiurea (500-750 mg/d) terbukti dapat mengurangi frekuensi nyeri. Allogenik transplantasi tulang belakang masih dipelajari sebagai terapi kuratif pada pasien yang muda.
(Current Medical Diagnosis and Treatment 2007)
PENDAHULUAN
Anemia sel sabit merupakan autosomal recessive disorder yang menyebabkan keabnormal pada hemoglobin sehingga terjadi hemolisis yang mengakibatkan manifestasi klinik. Pada anemia ini terjadi perubahan 1 base DNA yang mengakibatkan perubahan glutamin menjadi valin pada b-globin. Jika HbS ini mengalami oksidasi maka akan menyebabkan kerusakan membran. Sebenarnya polimer HbS dan kerukan membran yang dini dapat pulih kembali. Namun, jika kerusakan yang diakibatkan terlalu sulit untuk diperbaiki maka eritrosit akan berubah menjadi sabit yang irreversibel.
Kecepatan perubahan menjadi berbentuk sabit dipengaruhi oleh beberapa faktor dan faktor yang paling penting adalah banyaknya HbS dalam eritrosit. Eritrosit yang dehidrasi akan menyebabkan sel mudah menjadi sabit. Hemoglobin yang lain juga mempunyai pengaruh kuat dalam perubahan ini. Akibat adanya HbS, HbF tidak dapat bergabung dengan polimer, dan keadaan ini memperlambat proses perubahan menjadi sabit. Faktor lain yang meningkatkan perubahan eritrosit adalah meningkatnya deoksihemoglobin HbS akibat asidosis dan hipoksemia.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala dan tanda-tanda
HbS gen dibawa oleh 8% orang amerika berkulit hitam dan 1 dari 400 kelahiran pada orang Amerika berkulit hitam menderita anemia sel sabit. Onset kelainan ini sudah muncul pada awal kehidupan yaitu saat menunrunnya HbF yang disebabkan penurunan produksi gama-globin yang digantikan b-globin.
Hemolitik yang kronik menyebabkan ikterus, pigment(calcium bilirubinate) gallstones, splenomegali dan ulserasi pada tibia bagian bawah. Komplikasi selanjutnya yaitu ketidakmampuan sel darah merah untuk mengkompensasi yang disebabkan oleh infeksi atau defisiensi folat. Krisis hemolitik mungkin berhubungan dengan penghancuran sel sabit oleh limpa atau defisiensi enzim G6PD.
Rasa nyeri yang akut mungkin terasa pada saat terjadi penyumbatan pembuluh darah yang dapat diprofokasi oleh infeksi, dehidrasi dan hipoksia. Sumbatan tersebut diakibatkan oleh agregasi eritrosit yang berbentuk sabit yang menyumbat mikrovaskuler dari organ tertentu. Episode sumbatan tersebut dapat berjam-jam bahkan berhari-hari. Lokasi yang sering terkena serangan tersebut adalah tulang panjang, tulang belakang dan chest. Sumbatan tersebut dapat menyebabkan stroke, sinus trombosis dan priapism. Episode sumbatan tersebut tidak berhubungan meningkatnya hemolisis.
Episode sumbatan yang berulang dapat menyebabkan kerusakan beberapa organ khususnya hati dan ginjal. Jika terjadi iskemik pada tulang maka akan terjadi nekrosis, selain itu juga bisa menjadi osteomielitis. Infark dari papila pada medula ginjal menyebabkan defek konsentrasi tubular ginjal dan gross hematuria, yang kejadian ini lebih banyak menyerang pada sickle cell trait dari pada sickle cell anemia. Retinopati juga salah satu komplikasi anemia sel sabit yang juga bisa disebabkan oleh diabetes yang akan berakibat pada kebutaan.
Pada klinik biasanya pasien menderita sakit yang kronik dan ikterus. Penderita biasanya hepatomegali, namun limpa tidak teraba pada orang dewasa. Jantung sering membesar dengan disertai hyperdynamic precordium dan systolyc mumurs. Ulserasi pada tungkai bawah dan retinopati juga mungkin ditemukan. Anemia sel sabit menyebabkan kerusakan multisistem yang kronik, dengan kematian dan kegagalan organ. Dengan terapi suportif harapan hidup penderita 40 sampai 50 tahun.
Temuan Laboratorium
Hemolisis yang kronik ditemukan pada anemia sel sabit. Hematokrit biasanya 20-30%. Pengecatan darah perifer tampak abnormal yaitu 5-50% eritrosit berbentuk sel sabit. Selain itu juga ditemukan retikulositosis(10-25%), eritrosit berinti, howel-jolly bodies dan sel target.
Pemeriksaan laboratorium sebagian besar hanya digunakan untuk skrining, sedangkan untuk diagnosis pasti menggunakan elektroforesis hemoglobin. Hemoglobin S memperlihatkan abnormal migration pattern dan menyusun 85-98% hemoglobin. Pada homozigot HbS disease, HbA tidak ditemukan. Hemoglobin F biasanya meningkat dan HbF yang meningkat berhubungan dengan perbaikan gejala klinik.
PENATALAKSANAAN
Sebenarnya tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit primer. Pasien diberikan asam folat dan transfusi untuk menanggulangi krisis hemolitik. Vaksinasi pneumokokus tebukti bisa mengurangi infeksi bakteri tersebut pada pasien.
Ketika timbul nyeri akut, faktor pencetus harus segera diidentifikasi dan infeksi harus segera diobati. Pasien harus diberi cukup cairan dan oksigen jika terjadi hipoksia.
Penyumbatan pembuluh darah yang akan dapat diatasi dengan pemberian transfusi pengganti. Hal tersebut merupakan indikasi untuk diberi penatalaksanaan intractable pain crises, priapism dan stroke.
Pasien juga perlu diberikan agen sitotoksin yang dapat meningkatkan HbF dengan menstimulasi eritropoiesis pada prekrusor eritroid yang masih primitif. Hidroksiurea (500-750 mg/d) terbukti dapat mengurangi frekuensi nyeri. Allogenik transplantasi tulang belakang masih dipelajari sebagai terapi kuratif pada pasien yang muda.
(Current Medical Diagnosis and Treatment 2007)
Anemia Penyakit Kronik
ANEMIA PENYAKIT KRONIK
Pendahuluan
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia berat atau moderat. Sebagian besar disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker dan penyakit hati. Anemia pada gagal ginjal kronik mempunyai patofisiologi yang berbeda dan gejalanya lebih berat.
Yang mendasari patogenesis anemia pada penyakit kronik adalah survival sel darah merah yang menurun dan gagalnya sumsum tulang mengkompensasi kekurangan dengan meningkatkan produksi sel darah merah. Kegagalan peningkatan produksi sel darah merah sebagian besar disebabkan oleh sequestration besi pada sisitem retikuloendotelial. Penurunan eritropoietin jarang menjadi penyebab penurunan produksi eritrosit selain pada gagal ginjal. Semua proses diatas diduga karena adanya perubahan sitokin-sitokin pada pasien yang menderita penyakit kronik.
Etiologi :
Blok penggunaan kembali besi pada eritropoiesis.
Survival eritrosit yang menurun.
Inhibisi langsung eritrosit.
Defisiensi eritropoietin.
(Hematologi Hoffman)
Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda-tanda
Temuan klinik pada anemia jenis ini bergantung pada penyebabnya. Diagnosis yang harus dilakukan pada suspek yang menderita penyakit kronik adalah mengkonfirmasi penurunan serum besi, penurunan TIBC, dan normal atau meningkatnya serum feritin. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan penyerapan asam folat dan besi. Karena pada penyakit kronik sering ditemukan gangguan penyerapan besi dan folat, dan hal ini diperparah dengan perdarahan saluran pencernaan. Pada penderita yang ”cuci darah” biasanya terjadi kekurangan besi dan asam folan selama cuci darah berlangsung.
Temuan Laboratorium.
Hematokrit jarang kurang dari 60%. MCV biasanya normal atau menurun sedikit. Morfologi sel darah merah tidak bisa dijadikan untuk diagnosis dan retikulosit kadang meningkat dan kadang menurun. Serum besi mungkin tidak teratur. Penurunan transferin sangat extrim, oleh karena itu sering terjadi salah diagnosis dengan anemia defisiensi besi. Perbedaan dengan anemia defisiensi besi adalah serum feritin yang normal atau meningkat. Serum feritin yang kurang dari 30 ug/L menunjukkan defisiensi besi.
Penatalaksanaan
Rekombinan erytropoietin(epoetin alfa) efektif untuk pengobatan anemia pada gagal ginjal dan anemia sekunder yang disebabkan kanker atau inflamasi kronik. Pada gagal ginjal, respons optimal terhadap epoetin alfa membutuhkan intensitas dialisis yang lebih banyak. Epoetin alfa diberikan secara subcutan dan harganya sangat mahal. Obat ini hanya digunakan jika pasien bergantung pada transfusi dan ada respons terhadap terapi.
Sumber : Current Medical Diagnosis & Treatment.
Pendahuluan
Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan anemia berat atau moderat. Sebagian besar disebabkan oleh inflamasi kronik, kanker dan penyakit hati. Anemia pada gagal ginjal kronik mempunyai patofisiologi yang berbeda dan gejalanya lebih berat.
Yang mendasari patogenesis anemia pada penyakit kronik adalah survival sel darah merah yang menurun dan gagalnya sumsum tulang mengkompensasi kekurangan dengan meningkatkan produksi sel darah merah. Kegagalan peningkatan produksi sel darah merah sebagian besar disebabkan oleh sequestration besi pada sisitem retikuloendotelial. Penurunan eritropoietin jarang menjadi penyebab penurunan produksi eritrosit selain pada gagal ginjal. Semua proses diatas diduga karena adanya perubahan sitokin-sitokin pada pasien yang menderita penyakit kronik.
Etiologi :
Blok penggunaan kembali besi pada eritropoiesis.
Survival eritrosit yang menurun.
Inhibisi langsung eritrosit.
Defisiensi eritropoietin.
(Hematologi Hoffman)
Manifestasi Klinik
Gejala dan tanda-tanda
Temuan klinik pada anemia jenis ini bergantung pada penyebabnya. Diagnosis yang harus dilakukan pada suspek yang menderita penyakit kronik adalah mengkonfirmasi penurunan serum besi, penurunan TIBC, dan normal atau meningkatnya serum feritin. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan penyerapan asam folat dan besi. Karena pada penyakit kronik sering ditemukan gangguan penyerapan besi dan folat, dan hal ini diperparah dengan perdarahan saluran pencernaan. Pada penderita yang ”cuci darah” biasanya terjadi kekurangan besi dan asam folan selama cuci darah berlangsung.
Temuan Laboratorium.
Hematokrit jarang kurang dari 60%. MCV biasanya normal atau menurun sedikit. Morfologi sel darah merah tidak bisa dijadikan untuk diagnosis dan retikulosit kadang meningkat dan kadang menurun. Serum besi mungkin tidak teratur. Penurunan transferin sangat extrim, oleh karena itu sering terjadi salah diagnosis dengan anemia defisiensi besi. Perbedaan dengan anemia defisiensi besi adalah serum feritin yang normal atau meningkat. Serum feritin yang kurang dari 30 ug/L menunjukkan defisiensi besi.
Penatalaksanaan
Rekombinan erytropoietin(epoetin alfa) efektif untuk pengobatan anemia pada gagal ginjal dan anemia sekunder yang disebabkan kanker atau inflamasi kronik. Pada gagal ginjal, respons optimal terhadap epoetin alfa membutuhkan intensitas dialisis yang lebih banyak. Epoetin alfa diberikan secara subcutan dan harganya sangat mahal. Obat ini hanya digunakan jika pasien bergantung pada transfusi dan ada respons terhadap terapi.
Sumber : Current Medical Diagnosis & Treatment.
Anemia Defisiensi Besi
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Definisi
Defisiensi besi adalah kadar besi dalam tubuh dibawah nilai normal. Pada tahap awal kita akan menemukan cadangan besi tubuh yang berkurang. Kemudian jika kekurangan berlanjut kadar besi dalam plasma akan berkurang. Pada akhirnya proses pembentukan hemoglobin akan terganggu dan menyebabkan anemia defisiensi besi.
Etiologi
Anemia defisiensi besi bisa disebabkan oleh kehilangan darah yang kronik, asupan besi yang tidak memadai, malabsorbsi besi, hamil, laktasi(menyusui), hemolisis.
Patogenesis
Tabel berikut akan menunjukkan tingkatan-tingkatan defisiensi besi
Overload
Normal
Deplete stores
Iron Def
Iron Def Anemia
Serum ferritin
>
N
<(turun)
<
<
Transferrin saturation
>(naik)
N
N
<
<
Erythrocyte protoporphyrin
N
N
N
>
>>
MCV
N
N
N
N
<
Hb
N
N
N
N
<
Yang mendasari patogenesis dari anemia defisiensi besi antara lain :
survival eritrosit yang memendek : Hal ini dapat diamati pada pemberian besi radioaktif (59 Fe). Penurunan survival disebabkan bentuk eritrosit yang abnormal.
Menurunnya aktifitas beberapa enzim dan protein : Besi tidak hanya menyusun hemoglobin. Beberapa protein dan enzim juga tersusun dari besi. Sehingga jika kadar besi turun maka akan menurunkan aktifitas enzim dan protein tersebut. Cytocrom C, Cytocrom oksidase, succinic dehidrogenase, aconitase, xantine oksidase dan mioglobin adalah salah satunya.
Aktifitas otot yang menurun : Pada Phosphorus Magnetic Resonance Spectroscopy kita dapat melihat adanya penurunan phosphocreatinine pada otot yang berfungsi penting dalam kontraksi otot.
Penurunan fungsi neurologi : Pada pasien defisiensi besi sering ditemukan kelainan neurologi baik berupa kelainan motorik, sensorik maupun intelektual. Salah satu penyebabnya adalah penurunan aktifitas Monoamin Oksidase(MAO) pada Anemia Defisiensi Besi. Monoamin Oksidase penting dalam pembentukan dopamin, norepinephrin dan serotonin yang berfungsi sebagai neurotransmiter. Selain itu pada otak akan terjadi penurunan reseptor dopamin D2 yang penting dalam neurotransmisi. Sehingga akan terjadi kelainan neurologi yang biasanya terjadi pada anak-anak.
Penurunan fungsi sistem imun tubuh.
Gangguan pertumbuhan dan metabolisme : Kekurangan besi berperan dalam penurunan berat badan dan thermoregulasi pada pasien Anemia Defisiensi Besi.
Manifestasi Klinik
Fatigue, takikardi, palpitasi dan takipnea merupakan tanda khas dari anemia. Pada keadaan yang berat akan ada perubahan pada kulit dan mukosa, termasuk smooth tongue, brittel nails, dan cheilosis. Dysphagia muncul karena formasi esophageal webs(Plumner-Vinson Syndrome). Pada keadaan yang sangat berat (Hb<= 5) sering ditemukan perdarahan retina.
Temuan Laboratorium
Diagnosis
Diagnosis dari Anemia Defisiensi Besi antara lain dengan adanya gejala anemia. Serum feritin< 12ug/L, ada perdarahan dan berespons terhadap terapi besi. Jika kriteria diatas sudah terpenuhi maka sudah bisa ditetapkan Anemia Defisiensi Besi.
Terapi
Untuk anemia defisiensi besi penanganan utamanya adalah dengan memberikan suplemen besi.
Sumber : Williams Hematologi 6th edition (November 28, 2000).
Definisi
Defisiensi besi adalah kadar besi dalam tubuh dibawah nilai normal. Pada tahap awal kita akan menemukan cadangan besi tubuh yang berkurang. Kemudian jika kekurangan berlanjut kadar besi dalam plasma akan berkurang. Pada akhirnya proses pembentukan hemoglobin akan terganggu dan menyebabkan anemia defisiensi besi.
Etiologi
Anemia defisiensi besi bisa disebabkan oleh kehilangan darah yang kronik, asupan besi yang tidak memadai, malabsorbsi besi, hamil, laktasi(menyusui), hemolisis.
Patogenesis
Tabel berikut akan menunjukkan tingkatan-tingkatan defisiensi besi
Overload
Normal
Deplete stores
Iron Def
Iron Def Anemia
Serum ferritin
>
N
<(turun)
<
<
Transferrin saturation
>(naik)
N
N
<
<
Erythrocyte protoporphyrin
N
N
N
>
>>
MCV
N
N
N
N
<
Hb
N
N
N
N
<
Yang mendasari patogenesis dari anemia defisiensi besi antara lain :
survival eritrosit yang memendek : Hal ini dapat diamati pada pemberian besi radioaktif (59 Fe). Penurunan survival disebabkan bentuk eritrosit yang abnormal.
Menurunnya aktifitas beberapa enzim dan protein : Besi tidak hanya menyusun hemoglobin. Beberapa protein dan enzim juga tersusun dari besi. Sehingga jika kadar besi turun maka akan menurunkan aktifitas enzim dan protein tersebut. Cytocrom C, Cytocrom oksidase, succinic dehidrogenase, aconitase, xantine oksidase dan mioglobin adalah salah satunya.
Aktifitas otot yang menurun : Pada Phosphorus Magnetic Resonance Spectroscopy kita dapat melihat adanya penurunan phosphocreatinine pada otot yang berfungsi penting dalam kontraksi otot.
Penurunan fungsi neurologi : Pada pasien defisiensi besi sering ditemukan kelainan neurologi baik berupa kelainan motorik, sensorik maupun intelektual. Salah satu penyebabnya adalah penurunan aktifitas Monoamin Oksidase(MAO) pada Anemia Defisiensi Besi. Monoamin Oksidase penting dalam pembentukan dopamin, norepinephrin dan serotonin yang berfungsi sebagai neurotransmiter. Selain itu pada otak akan terjadi penurunan reseptor dopamin D2 yang penting dalam neurotransmisi. Sehingga akan terjadi kelainan neurologi yang biasanya terjadi pada anak-anak.
Penurunan fungsi sistem imun tubuh.
Gangguan pertumbuhan dan metabolisme : Kekurangan besi berperan dalam penurunan berat badan dan thermoregulasi pada pasien Anemia Defisiensi Besi.
Manifestasi Klinik
Fatigue, takikardi, palpitasi dan takipnea merupakan tanda khas dari anemia. Pada keadaan yang berat akan ada perubahan pada kulit dan mukosa, termasuk smooth tongue, brittel nails, dan cheilosis. Dysphagia muncul karena formasi esophageal webs(Plumner-Vinson Syndrome). Pada keadaan yang sangat berat (Hb<= 5) sering ditemukan perdarahan retina.
Temuan Laboratorium
Diagnosis
Diagnosis dari Anemia Defisiensi Besi antara lain dengan adanya gejala anemia. Serum feritin< 12ug/L, ada perdarahan dan berespons terhadap terapi besi. Jika kriteria diatas sudah terpenuhi maka sudah bisa ditetapkan Anemia Defisiensi Besi.
Terapi
Untuk anemia defisiensi besi penanganan utamanya adalah dengan memberikan suplemen besi.
Sumber : Williams Hematologi 6th edition (November 28, 2000).
Jantung dan Sirkulasi
JANTUNG DAN SIRKULASI
Ventrikel kiri jantung meompa darah melaui pembuluh darah arteri di sirkulasi sistemik ke dalam kapiler di seluruh tubuh. Selanjutnya darah kembali ke jantung melaui pembuluh darah vena, kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke dalam sirkulasi paru dan selanjutnya kembali ke jantung kiri.
Volume darah total adalah sekitar 4,5-5,5L dan sekitar 80%-nya terdapat dalam sistem yang disebut sistem tekanan rendah yaitu dalam vena, jantung kanan, dan sirkulasi paru. Oleh karena komplians yang tinggi serta kapasitasnya yang besar, sistem tekanan rendah berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah. Jika volume darah yang normal meningkat, misal karena transfusi darah, maka lebih dari 98% dari darah yang masuk akan menuju sistem tekanan rendah dan kurang dari 2% akan menuju sistem tekanan tinggi. Sebalikanya, jika volume darah berkurang, yang mengalami pengurangan volume hampir seluruhnya adalah pada sistem tekanan rendah. Jika fungsi paru dan jantung normal, tekanan vena sentralis merupakan pengukur volume darah yang baik.
Curah jantung (CO) merupakan hasil perkalian denyut jantung dan volume sekuncup. Pada keadaan normal jumlahnya adalah sekitar 5,6 L/menit. CO dapat ditingkatkan berkali-kali dengan meningkatkan denyut jantung atau volume sekuncup.
CO didistribusikan ke organ yang diatur secara pararel dalam sirkulasi sistemik, pembagiannya bergantung pada seberapa vital organ tersebut, dan pada sisi lain pada kebutuhan sementara. Mempertahankan suplai darah ke otah merupakan prioritas utama (sekitar 13% dari CO istirahat) karena otak bukan hanya merupakan organ vital, melainkan juga karena otak peka terhadap kekurangan oksigen dan sel-sel saraf jika mengalami kerusakan selamanya tidak dapat digantikan. Aliran darah melalui arteri koroner pada otot jantung (pada keadaan istirahat sekitar 4% CO) tidak boleh berkurang karena fungsi pemompaan yang abnormal dapat mengganggu sirkulasi secara keseluruhan. Untuk aliran darah kebagian yang lain silakan lihat gambar dibawah.
Seluruh CO mengalir ke sirkulasi paru karena sirkulasi ini dihubungkan secara seri dengan sirkulasis sistemik. Melalui arteri pulmonalis darah yang miskin oksigen akan mencapai paru. Di tempat ini darah akan diperkaya oksigen.
Resistensi aliran pada sirkulasi paru hanya 1/6 dari resistansi perifer total sehingga tekanan rata-rata yang harus ditimbulkan oleh ventrikel kanan(15 mmHg) lebih kecil daripada yang harus ditimbulkan ventrikel kiri di aorta(100mmHg).
Sumber: David E. mohrman Cardiovascular Physiology.
Stefan Silbernagl. Teks dan atlas berwarna PATOFISIOLOGI.
Ventrikel kiri jantung meompa darah melaui pembuluh darah arteri di sirkulasi sistemik ke dalam kapiler di seluruh tubuh. Selanjutnya darah kembali ke jantung melaui pembuluh darah vena, kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke dalam sirkulasi paru dan selanjutnya kembali ke jantung kiri.
Volume darah total adalah sekitar 4,5-5,5L dan sekitar 80%-nya terdapat dalam sistem yang disebut sistem tekanan rendah yaitu dalam vena, jantung kanan, dan sirkulasi paru. Oleh karena komplians yang tinggi serta kapasitasnya yang besar, sistem tekanan rendah berfungsi sebagai tempat penyimpanan darah. Jika volume darah yang normal meningkat, misal karena transfusi darah, maka lebih dari 98% dari darah yang masuk akan menuju sistem tekanan rendah dan kurang dari 2% akan menuju sistem tekanan tinggi. Sebalikanya, jika volume darah berkurang, yang mengalami pengurangan volume hampir seluruhnya adalah pada sistem tekanan rendah. Jika fungsi paru dan jantung normal, tekanan vena sentralis merupakan pengukur volume darah yang baik.
Curah jantung (CO) merupakan hasil perkalian denyut jantung dan volume sekuncup. Pada keadaan normal jumlahnya adalah sekitar 5,6 L/menit. CO dapat ditingkatkan berkali-kali dengan meningkatkan denyut jantung atau volume sekuncup.
CO didistribusikan ke organ yang diatur secara pararel dalam sirkulasi sistemik, pembagiannya bergantung pada seberapa vital organ tersebut, dan pada sisi lain pada kebutuhan sementara. Mempertahankan suplai darah ke otah merupakan prioritas utama (sekitar 13% dari CO istirahat) karena otak bukan hanya merupakan organ vital, melainkan juga karena otak peka terhadap kekurangan oksigen dan sel-sel saraf jika mengalami kerusakan selamanya tidak dapat digantikan. Aliran darah melalui arteri koroner pada otot jantung (pada keadaan istirahat sekitar 4% CO) tidak boleh berkurang karena fungsi pemompaan yang abnormal dapat mengganggu sirkulasi secara keseluruhan. Untuk aliran darah kebagian yang lain silakan lihat gambar dibawah.
Seluruh CO mengalir ke sirkulasi paru karena sirkulasi ini dihubungkan secara seri dengan sirkulasis sistemik. Melalui arteri pulmonalis darah yang miskin oksigen akan mencapai paru. Di tempat ini darah akan diperkaya oksigen.
Resistensi aliran pada sirkulasi paru hanya 1/6 dari resistansi perifer total sehingga tekanan rata-rata yang harus ditimbulkan oleh ventrikel kanan(15 mmHg) lebih kecil daripada yang harus ditimbulkan ventrikel kiri di aorta(100mmHg).
Sumber: David E. mohrman Cardiovascular Physiology.
Stefan Silbernagl. Teks dan atlas berwarna PATOFISIOLOGI.
Konduksi Jantung
Eksitasi Jantung
Supaya pemompaan jantung efektif maka perlu pengkoordinasian dari jutaan sel otot jantung. Kontraksi akan terjadi jika potential aksi yang berjalan menuju membran sel otot. Impuls yang diterima sel tersebut kemudian disalurkan ke sel selanjutnya melalui gap junction sehinnga jika ada rangsangan pada salah satu bagian saja maka bagian yang lain juga terangsang. Oleh karena itu, sel otot pada jantung diatur secara spesifik oleh frekuensi eksitasi jantung, jalur konduksi dan banyaknya eksitasi pada daerah tertentu. Komponen-komponen eksitasi dari jantung secara urut terdiri dari sino-auricular node(SA node), jaras internodal atrium, atrio-ventricular node (AV node), bundle His, cabang kiri-kanan bundel dan sistem Purkinje.
SA node terdiri dari sel spesial yang berfungsi sebagai pacu jantung(pace-maker). Nodus SA terletah diantara vena kava superior dan atrium kanan. Ukurannya pada dewasa 15x5x1,5 mm, serta dipengaruhi oleh saraf simpatik dan parasimpatik. Nodus SA terdiri dari sel P dan sel transisional. Sel P banyak ditemukan pada neonatus dan berkurang seiring bertambahnya umur. Sedangkan sel transisional lebih banyak pada dewasa.
Kemudian dilanjutkan oleh jaras internodal atrium yang menuju nodus AV yang terdiri dari 3 jaras. Pertama jaras internodal anterior(Bachman). Kedua jaras internodal media(Wenckebach). Ketiga jaras internodal posterior( Thorel).
AV node terdiri dari sel yang kecepatan konduksinya rendah yang secara normal berfungsi untuk menghasilkan kontraksi atrial dan ventrikel yang ringan. Nodus AV terletah pada permukaan endokardium pada bagian kanan septum interatrium, tepat diantara anulus katup trikuspid dan muara sinus koronarius.
Dari nodus AV impuls menuju bundel his pada pars membranasea septum ventrikel. Selanjutnya menuju sistem purkinje. Sel Purkinje secara khusus berfungsi untuk konduksi yang sangat cepat. Sehingga kecepatan konduksi paling cepat terdapat di secabut purkinje yaitu 4000mm/detik.
Sumber : David E. mohrman Cardiovascular Physiology.
IKADAI. Kardiologi anak.
Supaya pemompaan jantung efektif maka perlu pengkoordinasian dari jutaan sel otot jantung. Kontraksi akan terjadi jika potential aksi yang berjalan menuju membran sel otot. Impuls yang diterima sel tersebut kemudian disalurkan ke sel selanjutnya melalui gap junction sehinnga jika ada rangsangan pada salah satu bagian saja maka bagian yang lain juga terangsang. Oleh karena itu, sel otot pada jantung diatur secara spesifik oleh frekuensi eksitasi jantung, jalur konduksi dan banyaknya eksitasi pada daerah tertentu. Komponen-komponen eksitasi dari jantung secara urut terdiri dari sino-auricular node(SA node), jaras internodal atrium, atrio-ventricular node (AV node), bundle His, cabang kiri-kanan bundel dan sistem Purkinje.
SA node terdiri dari sel spesial yang berfungsi sebagai pacu jantung(pace-maker). Nodus SA terletah diantara vena kava superior dan atrium kanan. Ukurannya pada dewasa 15x5x1,5 mm, serta dipengaruhi oleh saraf simpatik dan parasimpatik. Nodus SA terdiri dari sel P dan sel transisional. Sel P banyak ditemukan pada neonatus dan berkurang seiring bertambahnya umur. Sedangkan sel transisional lebih banyak pada dewasa.
Kemudian dilanjutkan oleh jaras internodal atrium yang menuju nodus AV yang terdiri dari 3 jaras. Pertama jaras internodal anterior(Bachman). Kedua jaras internodal media(Wenckebach). Ketiga jaras internodal posterior( Thorel).
AV node terdiri dari sel yang kecepatan konduksinya rendah yang secara normal berfungsi untuk menghasilkan kontraksi atrial dan ventrikel yang ringan. Nodus AV terletah pada permukaan endokardium pada bagian kanan septum interatrium, tepat diantara anulus katup trikuspid dan muara sinus koronarius.
Dari nodus AV impuls menuju bundel his pada pars membranasea septum ventrikel. Selanjutnya menuju sistem purkinje. Sel Purkinje secara khusus berfungsi untuk konduksi yang sangat cepat. Sehingga kecepatan konduksi paling cepat terdapat di secabut purkinje yaitu 4000mm/detik.
Sumber : David E. mohrman Cardiovascular Physiology.
IKADAI. Kardiologi anak.
Fisiologi darah
DASAR FISIOLOGI ALIRAN DARAH
Setiap organ dalam tubuh kita membutuhkan darah untuk metabolismenya. Oleh karena itu, tubuh kita memerlukan peranan jantung untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Dalam keadaan istirahat jantung mampu memompa 5 L/menit (80 galon/jam). Selama kegiatan sehari-hari, metabolisme dan kebutuhan darah setiap organ berbeda-beda dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sistem kardiovaskuler kita harus mampu untuk mengontrol pemompaan darah dan pendistribusiannya. Pada bab ini kita akan membahas bagaimana sistem kardiovaskuler kita melakukan peran tersebut.
Pertama kita ibaratkan pembuluh darah kita sebuah tabung. Sebuah tabung mempunyai dimensi antara lain panjang (L) dan jari-jari(r). Untuk dapat melewati tabung maka sebuah cairan membutuhkan tekanan(Pi). Selain tekanan yang diberikan pada cairan tersebut juga terdapat tekanan yang arahnya berlawanan dengannya(Po). Supaya dapat melewati lubang maka Pi>Po(▲P). Selain factor-faktor diatas juga terdapat factor yang mempengaruhi aliran darah yang disebut resistensi vascular(R). R adalah seberapa besar kesulitan cairan mampu melawati tabung. Berdasarkan penelitian Jean Leonard Marie Peuseuille (1799-1869) resistensi vaskuler dipengaruhi oleh jari-jari, panjang dan viskositas cairan yang ditulis dalam persamaan n=viskositas cairan.
Maka besarnya aliran darah(Q) dapat dirumuskan sebagai .
Dari kedua persamaan diatas kita bisa mengetahui bahwa faktor yang mudah dimanipulasi dalam pengaturan aliran darah adalah radius yang diperankan oleh otot pembuluh darah dan ▲P yang diperankan oleh jantung. Suatu organ dilalui oleh arteri yang kemudian menjadi vena. Maka kerja jantung disini adalah menjaga supaya tekanan arteri(sekitar 100 mmHg) lebih besar dari vena (sekitar 0 mmHg).
Sebuah catatan penting bahwa aliran darah dalam tubuh kita bersifat pararel. Hal ini sangat berguna untuk pengaturan persebaran darah. Misalnya dalam keadaan hipoksia tubuh kita akan memprioritaskan otak (karena jika selama 4 menit kekurangan oksigen akan terjadi kematian) dibanding organ yang lain sehingga aliran darah ke organ yang lain diperkecil dan aliran ke otak diperbesar.
Setiap organ dalam tubuh kita membutuhkan darah untuk metabolismenya. Oleh karena itu, tubuh kita memerlukan peranan jantung untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Dalam keadaan istirahat jantung mampu memompa 5 L/menit (80 galon/jam). Selama kegiatan sehari-hari, metabolisme dan kebutuhan darah setiap organ berbeda-beda dan berubah-ubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, sistem kardiovaskuler kita harus mampu untuk mengontrol pemompaan darah dan pendistribusiannya. Pada bab ini kita akan membahas bagaimana sistem kardiovaskuler kita melakukan peran tersebut.
Pertama kita ibaratkan pembuluh darah kita sebuah tabung. Sebuah tabung mempunyai dimensi antara lain panjang (L) dan jari-jari(r). Untuk dapat melewati tabung maka sebuah cairan membutuhkan tekanan(Pi). Selain tekanan yang diberikan pada cairan tersebut juga terdapat tekanan yang arahnya berlawanan dengannya(Po). Supaya dapat melewati lubang maka Pi>Po(▲P). Selain factor-faktor diatas juga terdapat factor yang mempengaruhi aliran darah yang disebut resistensi vascular(R). R adalah seberapa besar kesulitan cairan mampu melawati tabung. Berdasarkan penelitian Jean Leonard Marie Peuseuille (1799-1869) resistensi vaskuler dipengaruhi oleh jari-jari, panjang dan viskositas cairan yang ditulis dalam persamaan n=viskositas cairan.
Maka besarnya aliran darah(Q) dapat dirumuskan sebagai .
Dari kedua persamaan diatas kita bisa mengetahui bahwa faktor yang mudah dimanipulasi dalam pengaturan aliran darah adalah radius yang diperankan oleh otot pembuluh darah dan ▲P yang diperankan oleh jantung. Suatu organ dilalui oleh arteri yang kemudian menjadi vena. Maka kerja jantung disini adalah menjaga supaya tekanan arteri(sekitar 100 mmHg) lebih besar dari vena (sekitar 0 mmHg).
Sebuah catatan penting bahwa aliran darah dalam tubuh kita bersifat pararel. Hal ini sangat berguna untuk pengaturan persebaran darah. Misalnya dalam keadaan hipoksia tubuh kita akan memprioritaskan otak (karena jika selama 4 menit kekurangan oksigen akan terjadi kematian) dibanding organ yang lain sehingga aliran darah ke organ yang lain diperkecil dan aliran ke otak diperbesar.
Mekanisme dan pengobatan batuk
Batuk adalah ledakan nafas akibat rangsangan reseptor batuk guna memberika proteksi terhadap saluran nafas dan membersihkan saluran nafas dari gangguan benda asing. Batuk sebenarnya bukan penyakit, namun merupakan gejala adanya gangguan di saluran pernafasan. Gangguan pada saluran pernafasan ini menyebabkan reseptor batuk yang sebagian besar berada di laring, trakea dan karina(percabangan trakea). Pada sebagian besar negeri, batuk merupakan salah satu sebab pasien datang ke dokter. Oleh karena itu mengetahui mekanisme, patofisiologi dan penatalaksanaan batuk merupakan hal yang sangat penting bagi seorang tenaga medis.
MEKANISME BATUK
Pada epitelium lapisan pernafasan terdapat lapisan tipis mukus yang melapisi dan ia dinbersihkan oleh gerakan suatu ekskalator mukosilar. Batuk bertindak membersihkan saluran nafas ketika terlalu banyak benda-benda asing yang terhirup atau jika terdapat sejumlah lendir yang terlalu banyak. Selain hal yang tersebut diatas basuk bisa juga disebabkan oleh rangsangan bau, kontraksi saluran nafas(misal, pada asma) atau peradangan pada saluran nafas. Intinya semua yang bisa merangsang reseptor batuk akan menyebabkan batuk.
Batuk bisa juga disebabkan oleh kesengajaan. Namun, antara reflek dan kesengajaan mekanismenya sama. Batuk diawali dengan bernafas dalam kemudian diikuti oleh penutupan epiglotis. Kemudian, diafragma relaksasi disertai dengan kontraksi otot-otot yang berfungsi memperkecil rongga dada. Akibat mengecilnya rongga dada maka tekanan di rongga dada akan membesar. Maka ketika epiglotis membuka udara akan keluar dari saluran pernafasan dengan cepat sehingga mampu membersihkan kotoran-kotoran.
Pengobatan Batuk.
Setelah kita memperhatikan pembahasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Namun, ada beberapa indikasi yang menunjukkan batuk yang kita derita adalah abnormal. Indikasi yang paling penting adalah penyebab batuk, ada tidaknya sekret yang menyertai batuk dan durasi lamanya batuk. Jika batuk bersifat kering (tidak ada sekret) maka kita dapat menekan batuk dengan memberikan antitusif. Namun, jika ada sekret maka kita tidak boleh memberikan antitusif karena dikhawatirkan akan terjadi sumbatan saluran pernafasan.
Obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi batuk antara lain :
Antitusif : Bekerja menekan refleks batuk. Yang biasa digunakan antara lain kodein, noskapin dan dekstrometorfan.
Ekspektoran : Obat yang digunakan untuk merangsang batuk sehingga dahak dapat dikeluarkan supaya tidak menyumbat saluran pernafasan. Obat bebas yang sering digunakan gliseril guaikolat dan guaifenesin.
Mukolitik : Menurunkan viskositas mukus/dahak, sehingga memudahkan pengeluaran dahak. Digunakan pada dahak yang kental. Contoh mukolitik : N-asetilsistein, karbosistein, ambroksol, bromheksin dan mesistein.
Sumber: Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan
MEKANISME BATUK
Pada epitelium lapisan pernafasan terdapat lapisan tipis mukus yang melapisi dan ia dinbersihkan oleh gerakan suatu ekskalator mukosilar. Batuk bertindak membersihkan saluran nafas ketika terlalu banyak benda-benda asing yang terhirup atau jika terdapat sejumlah lendir yang terlalu banyak. Selain hal yang tersebut diatas basuk bisa juga disebabkan oleh rangsangan bau, kontraksi saluran nafas(misal, pada asma) atau peradangan pada saluran nafas. Intinya semua yang bisa merangsang reseptor batuk akan menyebabkan batuk.
Batuk bisa juga disebabkan oleh kesengajaan. Namun, antara reflek dan kesengajaan mekanismenya sama. Batuk diawali dengan bernafas dalam kemudian diikuti oleh penutupan epiglotis. Kemudian, diafragma relaksasi disertai dengan kontraksi otot-otot yang berfungsi memperkecil rongga dada. Akibat mengecilnya rongga dada maka tekanan di rongga dada akan membesar. Maka ketika epiglotis membuka udara akan keluar dari saluran pernafasan dengan cepat sehingga mampu membersihkan kotoran-kotoran.
Pengobatan Batuk.
Setelah kita memperhatikan pembahasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Namun, ada beberapa indikasi yang menunjukkan batuk yang kita derita adalah abnormal. Indikasi yang paling penting adalah penyebab batuk, ada tidaknya sekret yang menyertai batuk dan durasi lamanya batuk. Jika batuk bersifat kering (tidak ada sekret) maka kita dapat menekan batuk dengan memberikan antitusif. Namun, jika ada sekret maka kita tidak boleh memberikan antitusif karena dikhawatirkan akan terjadi sumbatan saluran pernafasan.
Obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi batuk antara lain :
Antitusif : Bekerja menekan refleks batuk. Yang biasa digunakan antara lain kodein, noskapin dan dekstrometorfan.
Ekspektoran : Obat yang digunakan untuk merangsang batuk sehingga dahak dapat dikeluarkan supaya tidak menyumbat saluran pernafasan. Obat bebas yang sering digunakan gliseril guaikolat dan guaifenesin.
Mukolitik : Menurunkan viskositas mukus/dahak, sehingga memudahkan pengeluaran dahak. Digunakan pada dahak yang kental. Contoh mukolitik : N-asetilsistein, karbosistein, ambroksol, bromheksin dan mesistein.
Sumber: Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan
Minggu, 22 Februari 2009
patofisiologi dan diagnosis stroke
LAPORAN TUTORIAL
BLOK IX NEUROLOGI
PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS STROKE
Oleh :
Febrian Fariyansyah Nurhadi
G0007071
Kelompok A7
Tutor : dr. Indro Nugroho SpKJ
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2008
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Stroke adalah infark regional kortikal, subkortikal atau pun infark regional di batang otak yang terjadi karena kawasan perdarahan atau penyumbatan suatu arteri sehingga jatah oksigen tidak dapat disampaikan kebagian otak tertentu. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Empat juta orang amerika mengalami defisit neurologi akibat stroke ; dua pertiga dari defisit ini bersifat sedang sampai parah. Kemungkinan meninggal akibat stroke inisial adalah 30% sampai 35% dan kemungkinan kecacatan mayor pada orang yang selamat adalah 35% sampai 40%. Sekitar sepertiga dari semua pasien yang selamat dari stroke akan mengalami stroke ulangan pada tahun pertama1 .
Secara umum stroke dapat dibai menjadi 2 . Pertama stroke iskemik yaitu stroke yang disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah diotak. Kedua stroke hemoragik yaitu stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak. Faktor-faktor resiko stroke antara lain umur, hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis, penyakit jantung, merokok dan obat anti hamil2.
Melihat fenomena di atas, storke merupakan penyakit yang menjadi momok bagi manusia. Selain itu, stroke menyerang dengan tiba-tiba. Orang yang menderita stroke sering tidak menyadari bahwa dia terkena stroke. Tiba-tiba saja, penderita merasakan dan mengalami kelainan seperti lumpuh pada sebagian sisi tubuhnya, bicara pelo, pandangan kabur, dan lain sebagainya tergantung bagian otak mana yang terkena. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempelajari tentang patofisologi, mekanisme, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan penatalaksanaan stroke. Karena keterbatasan tempat kali ini penulis hanya akan membahas patofisiologi dan prosedur diagnostik stroke disebabkan penulis memandang lebih pentingnya membahas masalah tersebut daripada yang lain.
B. Definisi Masalah
Keluhan penyerta : tidak ada nyeri kepala, penurunan kesadaran, maupun muntah.
Riwayat dahulu :
1. Sudah 4 tahun menderita darah tinggi.
2. 1 thn lalu mondok di RS, setelah itu jadi sering lupa.
3. 2 hari yg lalu sulit bicara, sembuh sendiri.
4. 8 jam lalu jatuh.
Kebiasaan penderita : merokok, gemar makan makanan berlemak, dan kurang olahraga
Keluhan : anggota gerak sebelah kanan kesemutan, tidak bisa digerakan, dan bicara pelo.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan saraf dalam mencapai kompetensi pendidikan dokter umum blok neurologi.
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi system saraf.
2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit neurologi khususnya stroke.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi penyakit stroke.
TINJAUAN PUSTAKA
PATOFISIOLOGI STROKE
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otah yang ireversibel terjadi setelah tujuh sampai sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas. Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu definisi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan jua menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya. Dengan menghambat Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan penimbunan Na+ dan Ca+2di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K+ ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan pelepasan glotamat, yang mempercepat kematian sel melalui masuknya Na+ dan Ca+2 .Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor dan penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik(penumbra)7.
Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralaterla, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect. Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik kontralateral (akibat kehilangan girus presentralis dan postsentralis bagian medial), kesulitan bicara (akibat kerusakan area motorik tambahan) serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominant ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari system limbic. Penyumbatan pada arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralteral parsial (korteks visual primer) dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori (lobus temporalis bagian bawah). Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis) dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di thalamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik. Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua ekstremitas (tetraplegia) dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons dan medulla oblongata3,4,5. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan :
- Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).
- Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia (taktus poramidal).
- Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anestisia) di bagian wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus dan traktus spinotalamikus).
- Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarius), singultus (formasio retikularis).
- Ptosis, miosis dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan persarafan simpatis).
- Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus). Paralisis otot lidah (saraf hipoglosus), mulut yang jatuh (saraf fasial), strabismus (saraf okulomotorik, saraf abdusencs).
- Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot yang menyeluruh (namun kesadaran tetap dipertahankan)2,5.
MEKANISME GEJALA-GEJALA YANG MENYERTAI STROKE
1. Kesadaran : Isi kesadaran disimpan di area korteks asosiasi yang khusus berfungsi pada rangsangan tertentu. Kesigapan kesadaran tidak hanya membutuhkan aferen spesifik yang ditransmisikan ke korteks serebri, tetapi juga membutuhkan pengaktifan yang tidak spesifik dari ARAS. Di ARAS ini, neuron dari formasio retikularis akan mengaktifkan sebagian besar area korteks serebri melalui neuron intraluminar talamus4,7.
2. Afasia : Secara sederhana, bahasa yang diucapkan pertama kali diterima di korteks auditorik primer dan selanjutnya pada pusat bicara sensorik(area wernicke). Bahasa yang tertulis ditransmisikan melalui korteks visual primer dan sekunder ke area 39, tempat persepsi akustik, optik dan sensorik diintegrasikan. Ketika menulis, korteks premotorik diaktifkan melalui fasikulus arkuatus korteks premotorik, yang selanjutnya mengaktifkan korteks motorik melalui ganglia basalis dan thalamus. Gangguan pada salah satu daerah diatas akan mengakibatkan gejala afasia yang berbeda-beda. Berdasarkan gejalanya secara umum afasia dibagi menjadi 2 yaitu afasia motorik dan sensorik. Sedangkan berdasarkan gejala area yang terkena afasia dibagi menjadi 9 yaitu afasia Broca, afasia Wernicke, afasia konduksi, afasia global, afasia anomik, afasia akromatik, afasia transkortikal motorik, afasia transkortikal sensorik dan afasia subkortikal1,6.
3. Gangguan memori : Untuk membentuk memori, informasi mula-mula mencapai korteks asosiasi yang sesuai (misal korteks visual sekunder) melalui area korteks sensorik primer tertentu (misal korteks visual primer). Dari tempat ini, melalui korteks entorhinal (area 28), informasi mencapai hipokampus yang diperlukan untuk menyimpan memori jangka panjang. Dengan perantaraan struktur pada diensefalon, otak depan bagian basal dan korteks prefrontalis, informasi disimpan kembali di dalam korteks asosiasi. Dengan cara ini, informasi mula-mula diambil melalui memori sensorik oleh memori jangka pendek yang hanya dapat menyimpan memori selama beberapa detik saja. Gangguan memori bisa berupa anterograde (gangguan untuk membentuk memori jangka panjang yang baru) atau retrograde (hilangnya informasi yang telah disimpan). Jenis gangguan memori bergantung pada daerah yang gangguan, misal lesi pada hipokampus akan mengakibatkan amnesia anterograd sedangkan jika lesi terjadi pada korteks asosiasi akan terjadi amnesia retrograde1,7.
DIAGNOSIS STROKE
1. Anamnesa : Pokok manifestasi stroke adalah hemiparesis, hemiparestesia, afasia, disartria dan hamianopia. Semantik memduduki tempat penting dalam anamnesa. Dalam anamnesa kita harus dapat mengerti maksud kata-kata yang diucapkan pasien dalam menggambarkan gejala yang dideritanya5,6.
2. Diagnosa fisik : Pertama pemeriksaan ketangkasan gerak. Pada penderita stroke pasti terjadi gangguan ketangkasan gerak. Namun, kita perlu membedakan dengan gangguan ketangkasan akibat lesi pada serebelum. Pada penderita stoke gangguan ketangkasan gerak akan disertai gangguan upper motoneuron yang berupa :
a. Tonus otot pada sisi yang lumpuh meninggi.
b. Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh.
c. Refleks patologik positif (misal refleks Babinski, Chaddocck dan Oppenheim pada sisi yang lumpuh5,6.
Jika lesi pada serebelum maka gangguan ketangkasan tidak disertai gangguan upper motoneuron. Kedua diagnosa klinis stroke. Pada penderita stroke, terjadi kerusakan pada beberapa atau salah satu arteri yang ada di otak. Kerusakan salah satu arteri akan menimbulkan gejala yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijelaskan ada patofisiologi stroke5,6.
3. Pemeriksaan laboratorium5,6.
PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, penderita mengalami lumpuh di salah satu sisi tubuhnya. Keadaan ini dinamakan hemiplegia. Ada beberapa penyakit yang dapat dijadikan diagnosis banding dengan gejala hemiplegia :
1. Tumor otak. 3. Stroke
2. Radang intracranial. 4. Abses serebri
Jika dihubungkan dengan riwayat penyakit sebelumnya, maka diagnosis yang paling mendekati adalah stroke. Pertama, kebiasaan pasien yang buruk yang merupakan factor risiko terjadinya stroke antara lain merokok, makan makanan berlemak, dan kurang berolahraga.
Kedua, pasien memiliki penyakit hipertensi sejak empat tahun yang lalu. Hipertensi adalah salah satu factor risiko terjadinya stroke.
Ketiga, riwayat pasien yang pernah mengalami keluhan yang sama satu tahun lalu, bahkan sampai mondok di rumah sakit dan dua hari yang lalu pasien mengalami sulit bicara. Kemungkinan riwayat yang dialami pasien adalah stroke yang dikenal dengan serangan iskemik transien (TIA). Untuk lebih memastikan diagnosis, perlu dilakukan CT scan kepala. Ini juga bisa digunakan untuk mengetahui arteri mana yang mengalami sumbatan atau ruptur.
Gejala dan tanda stroke bervariasi tergantung otak bagian mana yang terkena. Satu tahun yang lalu setelah pasien mondok, pasien menjadi sering lupa. Kemungkinan otak yan g terkena adalah pada bagian system limbic, yaitu hipocampus.
Pada serangan kali ini, pasien datang dengan keluhan hemiplegia, kesemutan, dan bicara pelo. Pasien menderita kelumpuhan anggota gerak sebelah kanan, berarti otak yang terkena adalah lobus frontalis sinister, khususnya pada area motorik (area 4 dan 6 Brodmann) pada girus precentralis. Bicara tidak lancar disebabkan oleh lumpuhnya lidah bagian kanan, sehingga ketika mengucapkan kata-kata, artikulasi kata menjadi tidak jelas menimbulkan bicara pelo.
Jika yang terkena adalah area broca maka akan terjadi afasia motorik, dimana pasien tidak mampu mengungkapkan kata atau bahasa. Sedangkan bicara pelo atau sering disebut disartria pasien mampu mengungkapkan bahasa, tetapi pengucapan di mulut terganggu artikulasinya. Jika lesi pada area wernicke, maka akan terjadi afasia sensorik, dimana pasien tidak mampu memahami bahasa atau kata.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Stroke adalah penyakit serebrovaskular mangacu pada setiap gangguan neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak.
2. Stroke dibagi menjadi dua, yaitu stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik bisa trombotik atau embolik. Stroke hemoragik dapat intraserebral atau subarachnoid. Pasien pada kasus di atas menderita stroke iskemik dengan sebab utamanya adalah arteriosklerosis.
3. Factor risiko terjadinya stroke : hipertensi, makan makanan berlemak, merokok, kurang olahraga, genetic, dan lain-lain.
4. Gejala stroke tergantung bagian otak mana yang terkena. Pada pasien di atas, bagian otak yang terkena adalah area motorik kiri sehingga mengalami kelumpuhan anggota gerak sebelah kiri. Kemungkinan sedikit area broca sehingga pasien kesulitan berbicara.
B. SARAN
Jika memiliki factor risiko terjadinya stroke, sebaiknya rajin memeriksakan dan konsultasi dengan dokter agar dapat mencegah serangan stroke yang membahayakan. Pencegahan yang terbaik ada pada pola hidup pasien sendiri, jika berpola hidup sehat, maka risiko terkena stroke lebih kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC.
2. Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat.
3. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy III (revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
4. Snell, Richard S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed : 5. Jakarta: EGC.
5. Shidarta, Priguna. 2008. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Dian Rakyat.
6. Shidarta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktik Umum. Cetakan ke-6. Jakarta: Dian Rakyat.
7. Silbernagl dan Lang. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.
BLOK IX NEUROLOGI
PATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS STROKE
Oleh :
Febrian Fariyansyah Nurhadi
G0007071
Kelompok A7
Tutor : dr. Indro Nugroho SpKJ
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2008
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Stroke adalah infark regional kortikal, subkortikal atau pun infark regional di batang otak yang terjadi karena kawasan perdarahan atau penyumbatan suatu arteri sehingga jatah oksigen tidak dapat disampaikan kebagian otak tertentu. Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada orang dewasa. Empat juta orang amerika mengalami defisit neurologi akibat stroke ; dua pertiga dari defisit ini bersifat sedang sampai parah. Kemungkinan meninggal akibat stroke inisial adalah 30% sampai 35% dan kemungkinan kecacatan mayor pada orang yang selamat adalah 35% sampai 40%. Sekitar sepertiga dari semua pasien yang selamat dari stroke akan mengalami stroke ulangan pada tahun pertama1 .
Secara umum stroke dapat dibai menjadi 2 . Pertama stroke iskemik yaitu stroke yang disebabkan oleh penyumbatan pada pembuluh darah diotak. Kedua stroke hemoragik yaitu stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah diotak. Faktor-faktor resiko stroke antara lain umur, hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis, penyakit jantung, merokok dan obat anti hamil2.
Melihat fenomena di atas, storke merupakan penyakit yang menjadi momok bagi manusia. Selain itu, stroke menyerang dengan tiba-tiba. Orang yang menderita stroke sering tidak menyadari bahwa dia terkena stroke. Tiba-tiba saja, penderita merasakan dan mengalami kelainan seperti lumpuh pada sebagian sisi tubuhnya, bicara pelo, pandangan kabur, dan lain sebagainya tergantung bagian otak mana yang terkena. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempelajari tentang patofisologi, mekanisme, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan penatalaksanaan stroke. Karena keterbatasan tempat kali ini penulis hanya akan membahas patofisiologi dan prosedur diagnostik stroke disebabkan penulis memandang lebih pentingnya membahas masalah tersebut daripada yang lain.
B. Definisi Masalah
Keluhan penyerta : tidak ada nyeri kepala, penurunan kesadaran, maupun muntah.
Riwayat dahulu :
1. Sudah 4 tahun menderita darah tinggi.
2. 1 thn lalu mondok di RS, setelah itu jadi sering lupa.
3. 2 hari yg lalu sulit bicara, sembuh sendiri.
4. 8 jam lalu jatuh.
Kebiasaan penderita : merokok, gemar makan makanan berlemak, dan kurang olahraga
Keluhan : anggota gerak sebelah kanan kesemutan, tidak bisa digerakan, dan bicara pelo.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan saraf dalam mencapai kompetensi pendidikan dokter umum blok neurologi.
D. Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi system saraf.
2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit neurologi khususnya stroke.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi penyakit stroke.
TINJAUAN PUSTAKA
PATOFISIOLOGI STROKE
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otah yang ireversibel terjadi setelah tujuh sampai sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas. Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu definisi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan jua menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya. Dengan menghambat Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan penimbunan Na+ dan Ca+2di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K+ ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi juga meningkatkan pelepasan glotamat, yang mempercepat kematian sel melalui masuknya Na+ dan Ca+2 .Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor dan penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik(penumbra)7.
Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan otot dan spastisitas kontralaterla, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect. Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik kontralateral (akibat kehilangan girus presentralis dan postsentralis bagian medial), kesulitan bicara (akibat kerusakan area motorik tambahan) serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominant ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari system limbic. Penyumbatan pada arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralteral parsial (korteks visual primer) dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori (lobus temporalis bagian bawah). Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis) dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di thalamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik. Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua ekstremitas (tetraplegia) dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons dan medulla oblongata3,4,5. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan :
- Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).
- Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia (taktus poramidal).
- Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anestisia) di bagian wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus dan traktus spinotalamikus).
- Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarius), singultus (formasio retikularis).
- Ptosis, miosis dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan persarafan simpatis).
- Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus). Paralisis otot lidah (saraf hipoglosus), mulut yang jatuh (saraf fasial), strabismus (saraf okulomotorik, saraf abdusencs).
- Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot yang menyeluruh (namun kesadaran tetap dipertahankan)2,5.
MEKANISME GEJALA-GEJALA YANG MENYERTAI STROKE
1. Kesadaran : Isi kesadaran disimpan di area korteks asosiasi yang khusus berfungsi pada rangsangan tertentu. Kesigapan kesadaran tidak hanya membutuhkan aferen spesifik yang ditransmisikan ke korteks serebri, tetapi juga membutuhkan pengaktifan yang tidak spesifik dari ARAS. Di ARAS ini, neuron dari formasio retikularis akan mengaktifkan sebagian besar area korteks serebri melalui neuron intraluminar talamus4,7.
2. Afasia : Secara sederhana, bahasa yang diucapkan pertama kali diterima di korteks auditorik primer dan selanjutnya pada pusat bicara sensorik(area wernicke). Bahasa yang tertulis ditransmisikan melalui korteks visual primer dan sekunder ke area 39, tempat persepsi akustik, optik dan sensorik diintegrasikan. Ketika menulis, korteks premotorik diaktifkan melalui fasikulus arkuatus korteks premotorik, yang selanjutnya mengaktifkan korteks motorik melalui ganglia basalis dan thalamus. Gangguan pada salah satu daerah diatas akan mengakibatkan gejala afasia yang berbeda-beda. Berdasarkan gejalanya secara umum afasia dibagi menjadi 2 yaitu afasia motorik dan sensorik. Sedangkan berdasarkan gejala area yang terkena afasia dibagi menjadi 9 yaitu afasia Broca, afasia Wernicke, afasia konduksi, afasia global, afasia anomik, afasia akromatik, afasia transkortikal motorik, afasia transkortikal sensorik dan afasia subkortikal1,6.
3. Gangguan memori : Untuk membentuk memori, informasi mula-mula mencapai korteks asosiasi yang sesuai (misal korteks visual sekunder) melalui area korteks sensorik primer tertentu (misal korteks visual primer). Dari tempat ini, melalui korteks entorhinal (area 28), informasi mencapai hipokampus yang diperlukan untuk menyimpan memori jangka panjang. Dengan perantaraan struktur pada diensefalon, otak depan bagian basal dan korteks prefrontalis, informasi disimpan kembali di dalam korteks asosiasi. Dengan cara ini, informasi mula-mula diambil melalui memori sensorik oleh memori jangka pendek yang hanya dapat menyimpan memori selama beberapa detik saja. Gangguan memori bisa berupa anterograde (gangguan untuk membentuk memori jangka panjang yang baru) atau retrograde (hilangnya informasi yang telah disimpan). Jenis gangguan memori bergantung pada daerah yang gangguan, misal lesi pada hipokampus akan mengakibatkan amnesia anterograd sedangkan jika lesi terjadi pada korteks asosiasi akan terjadi amnesia retrograde1,7.
DIAGNOSIS STROKE
1. Anamnesa : Pokok manifestasi stroke adalah hemiparesis, hemiparestesia, afasia, disartria dan hamianopia. Semantik memduduki tempat penting dalam anamnesa. Dalam anamnesa kita harus dapat mengerti maksud kata-kata yang diucapkan pasien dalam menggambarkan gejala yang dideritanya5,6.
2. Diagnosa fisik : Pertama pemeriksaan ketangkasan gerak. Pada penderita stroke pasti terjadi gangguan ketangkasan gerak. Namun, kita perlu membedakan dengan gangguan ketangkasan akibat lesi pada serebelum. Pada penderita stoke gangguan ketangkasan gerak akan disertai gangguan upper motoneuron yang berupa :
a. Tonus otot pada sisi yang lumpuh meninggi.
b. Refleks tendon meningkat pada sisi yang lumpuh.
c. Refleks patologik positif (misal refleks Babinski, Chaddocck dan Oppenheim pada sisi yang lumpuh5,6.
Jika lesi pada serebelum maka gangguan ketangkasan tidak disertai gangguan upper motoneuron. Kedua diagnosa klinis stroke. Pada penderita stroke, terjadi kerusakan pada beberapa atau salah satu arteri yang ada di otak. Kerusakan salah satu arteri akan menimbulkan gejala yang berbeda-beda sebagaimana yang telah dijelaskan ada patofisiologi stroke5,6.
3. Pemeriksaan laboratorium5,6.
PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, penderita mengalami lumpuh di salah satu sisi tubuhnya. Keadaan ini dinamakan hemiplegia. Ada beberapa penyakit yang dapat dijadikan diagnosis banding dengan gejala hemiplegia :
1. Tumor otak. 3. Stroke
2. Radang intracranial. 4. Abses serebri
Jika dihubungkan dengan riwayat penyakit sebelumnya, maka diagnosis yang paling mendekati adalah stroke. Pertama, kebiasaan pasien yang buruk yang merupakan factor risiko terjadinya stroke antara lain merokok, makan makanan berlemak, dan kurang berolahraga.
Kedua, pasien memiliki penyakit hipertensi sejak empat tahun yang lalu. Hipertensi adalah salah satu factor risiko terjadinya stroke.
Ketiga, riwayat pasien yang pernah mengalami keluhan yang sama satu tahun lalu, bahkan sampai mondok di rumah sakit dan dua hari yang lalu pasien mengalami sulit bicara. Kemungkinan riwayat yang dialami pasien adalah stroke yang dikenal dengan serangan iskemik transien (TIA). Untuk lebih memastikan diagnosis, perlu dilakukan CT scan kepala. Ini juga bisa digunakan untuk mengetahui arteri mana yang mengalami sumbatan atau ruptur.
Gejala dan tanda stroke bervariasi tergantung otak bagian mana yang terkena. Satu tahun yang lalu setelah pasien mondok, pasien menjadi sering lupa. Kemungkinan otak yan g terkena adalah pada bagian system limbic, yaitu hipocampus.
Pada serangan kali ini, pasien datang dengan keluhan hemiplegia, kesemutan, dan bicara pelo. Pasien menderita kelumpuhan anggota gerak sebelah kanan, berarti otak yang terkena adalah lobus frontalis sinister, khususnya pada area motorik (area 4 dan 6 Brodmann) pada girus precentralis. Bicara tidak lancar disebabkan oleh lumpuhnya lidah bagian kanan, sehingga ketika mengucapkan kata-kata, artikulasi kata menjadi tidak jelas menimbulkan bicara pelo.
Jika yang terkena adalah area broca maka akan terjadi afasia motorik, dimana pasien tidak mampu mengungkapkan kata atau bahasa. Sedangkan bicara pelo atau sering disebut disartria pasien mampu mengungkapkan bahasa, tetapi pengucapan di mulut terganggu artikulasinya. Jika lesi pada area wernicke, maka akan terjadi afasia sensorik, dimana pasien tidak mampu memahami bahasa atau kata.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Stroke adalah penyakit serebrovaskular mangacu pada setiap gangguan neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui system suplai arteri otak.
2. Stroke dibagi menjadi dua, yaitu stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik bisa trombotik atau embolik. Stroke hemoragik dapat intraserebral atau subarachnoid. Pasien pada kasus di atas menderita stroke iskemik dengan sebab utamanya adalah arteriosklerosis.
3. Factor risiko terjadinya stroke : hipertensi, makan makanan berlemak, merokok, kurang olahraga, genetic, dan lain-lain.
4. Gejala stroke tergantung bagian otak mana yang terkena. Pada pasien di atas, bagian otak yang terkena adalah area motorik kiri sehingga mengalami kelumpuhan anggota gerak sebelah kiri. Kemungkinan sedikit area broca sehingga pasien kesulitan berbicara.
B. SARAN
Jika memiliki factor risiko terjadinya stroke, sebaiknya rajin memeriksakan dan konsultasi dengan dokter agar dapat mencegah serangan stroke yang membahayakan. Pencegahan yang terbaik ada pada pola hidup pasien sendiri, jika berpola hidup sehat, maka risiko terkena stroke lebih kecil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC.
2. Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat.
3. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy III (revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
4. Snell, Richard S. 2007. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Ed : 5. Jakarta: EGC.
5. Shidarta, Priguna. 2008. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Dian Rakyat.
6. Shidarta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktik Umum. Cetakan ke-6. Jakarta: Dian Rakyat.
7. Silbernagl dan Lang. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Thalassemia
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hematologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan jaringan limforetikuler serta kelainan-kelainan yang timbul darinya. Thalassemia merupakan kelainan hematologi yang jarang dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Thalassemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu. Secara laboratorik, anemia dijabarkan sebagai kelainan letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar dengan jenis asam amino lain. Anemia dapat dilasifikasikan berdasarkan defek genetik molekuler dan beratnya gejala klinis
Dalam skenario 2, dijelaskan bahwa ada seorang anak laki-laki 2 tahun datang dengan keluhan lemas. Dari heteroanamnesis, sejak 6 bulan ini, anak terlihat lemas, pucat, dan mudah capek, serta sering panas dan batuk pilek (sebulan bisa 2 kali sakit). Sudah 2 kali mendapat obat tambah darah tapi tidak membaik. Pasien adalah anak pertama, ibu pasien sedang hamil anak kedua(2 bulan). Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang. Dalam keluarga, salah satu sepupunya juga menderita penyakit yang sama dan sering mendapat transfusi darah. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum : anak tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis, lemas. Tanda vital : frekuensi nadi 120 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu badan 38o C. Tonsil membesar dan kemerahan, faring kemerahan.teraba splenomegali sebesar 1 shuffner dan hepatomegali sebesar 2 jari di bawah arcus costarum. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil=Hb:4,8 g/dL,AL:15.200/μL,AT 480.000/μL, dan Hct 14,8%.
Pengetahuan khusus mengenai thalassemia dan sintesis hemoglobin memberi wawasan mengenai dasar hematologi dalam skenario ini. Oleh karena itu, dalam laporan ini penulis akan membahas mengenai klasifikasi, etiologi, patogenesis, penatalaksanaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan thalassemia dengan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar hematologi yang relevan.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sintesis, fungsi, dan tahapan perkembangan hemoglobin dalam tubuh?
b. Apa saja jenis hemoglobin patologis?
c. Apakah pengertian dari thalassemia, anemia hemolitik, dan hemoglobinopathy?
d. Bagaimana gejala klinis, patogenesis, dan patofisiologi dari ketiganya?
e. Bagaimana cara menegakkan diagnosis sesuai dengan skenario 2 ini berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium?
f. Apa saja jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan skenario kali ini?
g. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada penyakit yang didiagnosis?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui sintesis, fungsi, dan tahapan perkembangan hemoglobin dalam tubuh.
b. Untuk mengetahui jenis-jenis hemoglobin patologis.
c. Untuk mengetahui pengertian dari thalassemia, anemia hemolitik, dan hemoglobinopathy.
d. Untuk mengetahui gejala klinis, patogenesis, dan patofisiologi dari ketiganya.
e. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis sesuai dengan skenario 2 ini.
f. Untuk mengetahui jenis-jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan skenario kali ini.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan prognosis pada penyakit yang didiagnosis.
4. Manfaat Penulisan
a. Mampu menjelaskan sintesis, fungsi, dan tahapan perkembangan hemoglobin dalam tubuh.
b. Mampu menjelaskan jenis-jenis hemoglobin patologis.
c. Mampu menjelaskan pengertian dari thalassemia, anemia hemolitik, dan hemoglobinopathy.
d. Mampu menjelaskan gejala klinis, patogenesis, dan patofisiologi dari ketiganya.
e. Mampu menjelaskan cara menegakkan diagnosis sesuai dengan skenario 2 ini.
f. Mampu menjelaskan jenis-jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan skenario kali ini.
g. Mampu menjelaskan penatalaksanaan dan prognosis pada penyakit yang didiagnosis.
5. Hipotesis
a. Thalassemia merupakan salah satu penyakit yang disebabkan adanya gangguan sintesis rantai globin α atau β yang termasuk salah satu penyakit dari gangguan hemoglobin (hemoglobinopati). Hemoglobinopati itu sendiri merupakan salah satu penyakit anemia hemolitik.
b. Gejala klinis yang ditimbulkan, disebabkan karena destruksi eritrosit yang terlalu cepat (eritrpoesis inefektif) sehingga menimbulkan kelainan hemoglobin (khususnya sintesis rantai globin α atau β).
c. Hepatosplenomegali disebabkan karena kerja hepar dan limpa yang sangat aktif dalam mendestruksi dan pembentukan eritrosit..
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Klarifikasi Istilah :
o Faring : Sel muskulo membran yang terletak antara mulut, rongga hidung, dan esofagus
Tonsil : Salah satu jenis limfadenopati
Splenomegali : Pembesaran spleen/lien
Hepatomegali : Pembesaran Hepar
o Shuffner : Satuan splenomegali (ditarik garis dari arcus costarum sampai umbilicus, lalu dibagi 1-3 bagian)
Arcus Costarum : Lengkung Iga
2. Hemoglobin
Sintesis Hemoglobin dan Katabolisme Hemoglobin
Hemoglobin terdiri dari ikatan heme-globin. Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria. Bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil ko-A untuk kerja enzim kunci asam δ-aminolevulinat /ALA (enzim yang mengatur kecepatan produlsi hemoglobin) dengan koenzimnya adalah Piridoksal Fosfat (vitamin B12) yang dirangsang oleh eritropoetin. Yang kemudian membentuk profobilinogen. Selanjutnya profobilinogen akan menjadi uroporfirinogen III (yang akan menjadi uroporfirin III) dan uroporfirin I (yang akan menjadi uroporfirin I). Uroporfirinogen III akan mengalami konversi menjadi koproporfirinogen III (menjadi koproporfirin III). Koproporfirinogen III akan membentuk protoporfirin IX yang kemudian menjadi pirol. Protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk membentuk heme. Masing-masing molekul heme akan bergabung dengan 1 rantai globin yang dibuat pada ribosom, membentuk suatu subunit Hemoglobin yang disebut rantai Hb. Empat dari rantai Hb tersebut selanjutnya akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul Hemoglobin yang lebih lengkap.
Penghancuran sel darah merah terjadi dalam sistem retikuloendotelial yaitu dalam hati dan limpa. Hemoglobin bebas dipecah menjadi heme (persenyawaan Fr-protoporfirin) dan globin. Persenyawaan Fe-protoporfirin kemudian menjadi hematin. Rantai porfirin dipecah oleh suatu oksidasi pada jembatan α-metan, Fe tetap terikat pada persenyawaan ikatan globin pun tetep tidak terputus. Persenyawaan tersebut dinamakan verdo-hemoglobin. Kemudian Fe dan globin lepas dan terbentuk biliverdin. Biliverdin selanjutnya akan menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan itu diikat oleh protein dalam jaringan dan melalui plasma diangkut ke sumsum tulang untuk dipergunakan pada pembentukan heme, sedangkan globin yang dilepaskan akan dipecah menjadi asam amino lagi yang kemudia disintesis menjadi protein.
Bilirubin yang dibentuk (tidak larut dalam air) diikat oleh albumin dan diangkut dalam plasma dari tempat pemnghancuran itu ke hati. Dalam hati bilirubin ini bersenyawa dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transverase. Persenyawaan ini larut dalam air dan menyebabkan reaksi Hijmans van den Bergh positif. Bilirubin yang belum bersenyawa dengan asam glukoronat akan bereaksi indirek dengan reagensia Hijmans van den Bergh. Persenyawaan bilirubin-glukoronid ini akan keluar dari hati dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri yang ada pada usus, persenyawaan ini akan diubah menjadi urobilin yang akan dilkeluarkan bersama-sama tinja. Sebagian urobilinogen yang terdapat dalam usus akan diserap kembali melalui plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi dikeluarkan melalui ginjal.
Fungsi Hemoglibin
- Fungsi Hemoglobin Hb berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen
- Fungsi utamanya bergantung pada kemampuannya bergabung dengan O2 dalam paru-paru dan melepaskan O2 dalam kapiler jaringan dimana tekanan gas O2 jauh lebih kecil daripada paru-paru
- Oksigen diangkut ke jaringan sebagai oksigen molekular dan dilepaskan ke dalam cairan jaringan dalam bentuk oksigen molekuler terlarut
- Proses pengikatan O2 oleh Hb :
àEritrosit dalam darah arteri sistemik mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan membawa CO2 dari paru-paru
ü Pada saat molekul Hb mengangkut dan melepas O2, masing-masing rantai globin dalam molekul Hb bergerak satu sama lain
ü Pada waktu O2 dilepaskan, rantai-rantai β tarik terpisah, sehingga memungkinkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang menyebabkan makin rendahnya afinitas molekul Hb terhadap O2.
Hemoglobin Patologis
o HbC
à Terdapat pada 2% kalangan kulit hitam Amerika. Pada keadaan heterozigot (Hgb AC) tidak ditemukan anemia atau penyakit, tetapi ditemukan peningkatan jumlah sel target dalam darah tepi. Pada orang-orang homozigot (penyakit Hgb CC) dapat ditemukan anemia hemolitik dengan derajat sedang dan kadar Hb 8-11 g/dL, retikulositosis 5-10% dan splenomegali. Darah tepi mengandung sel target dan sferosit dalam jumlah banyak
o Hb D
à Dalam Hb Ds termasuk beberapa varietas Hb abnormal dengan mobilitas elektroforesis serupa dengan Hgb S, tetapi dengan sifat biokimia dan fisik yang berbeda. Sikling tidak terjadi pada sindroma Hgb D. Keadaan homozigot (Hgb DD) ditandai dengan anemia hemolitis ringan dan splenomegali.
o Hb E
à Hb E prevalen pada orang-orang dari Asia tenggara terutama Thailand. Penyakit Hgb E homozigot ditandai dengna anemia hemolitis ringan dengan sel target nyata serta mikrositosis dengan splenomegali sedang hingga berat. Temuan-temuan klinis dan hematologis mirip dengan Hgb C.
o Penyakit Hb SC
à Jika kedua gen Hgb S dan Hgb C ditemukan pada orang yang sama, akan terjadi suatu anemia dengan derajat sedang disertai splenomegali. Ditemukan episode vaso-oklusi tetapi biasanya jarang dan ringan dibandingkan pada penyakit sel sabit. Nekrosis apseptik dari kaput femoris kadang-kadang merupakan penyulit dan ditemukan kerusakan retina berat. Kadar Hb rata-rata 9-10 g/dL. Sel target banyak, tetapi sel sabit yang ireversibel jarang ditemuui dalam darah tapi. Pada elektroforesis Hb menunjukkan campuran sama Hgb S dan Hgb C dengan sedikit peningkatan Hgb F. Penyakt Hgb SC biasanya tidka mempengaruhi pertumbuhan dan berhubungan dengan daya tahan yang berlanjut hingga dewasa. Krisis aplastis dan sekuestrasi merupakan ancaman terhadap hidup.
Tahap Perkembangan Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) adalah suatu protein protein tetramerik (protein yang terdiri dari 4 rantai polipeptida yang terbentuk dari heme dan globin. Pada manusia dewasa Hb utama (mayor) disebut Hb A (Adult=A1), yang terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai β (α2 β2). Kadarnya mencapai lebih kurang 95% dari seluruh Hb. Selain Hb A, pada manusia dewasa terdapat hemoglobin pendamping (minor) yang disebut Hb A2, terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai δ (α2 δ2). Kadar Hb A2 pada orang dewasa adalah ± 2%.
Pada bayi (neonatus) dan janin (embrio) terdapat bentuk Hb lain, yaitu Hb F (Hb fetal) dan Hb embrional : Hb Gowers 1, Hb Gowers 2, dan Hb Fortland. Komposisi masing-masing Hb tersebut adalah sebagai berikut :
Hb F : alfa2 gamma2 = α2γ2
Hb Gowers 1 : alfa2 epsilon2 = α2 ε2
Hb Gowers 2 : zeta2 epsilon2 = ζ2 ε2
Hb Portland : zeta2 gamma2 = ζ2 γ2
Hb F bertahan sampai bayi berumur 20 minggu post partum. Setelah lahir, kadar Hb menurun dan pada usia 6 bulan ke atas mencapai kadar seperti pada orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4% pada keadaan normal. Pada manusia dewasa normal Hb F masih ditemukan walaupun dalam jumlahnya yang sangat kecil (kurang dari 1%). Hb embrional hanya bertahan sampai umur janin 10 minggu saja. Disamping Hb “normal” ditemukan pula Hb abnormal yaitu Hb H (β4) dan Hb Bart’s (γ4) yang ditemukan pada Thalassemia α serta merupakan tanda khas dari penyakit ini.
3. Anemia Hemolitik
Anemia karena proses hemolisis (pemecahan eritrosit di dalam pembuluh darah sebelum waktunya atau sebelum 120 hari). Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravaskular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular). Pada orang normal, hemolisis direspon dengan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang yang memiliki kemampuan 6 sampai 8 kali normal. Anemia hemolitik terjadi bila kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui lebih dari 6 sampai 8 kali peningkatan eritropoesis.
Anemia hemolitik diklasifikasikan menjadi dua macam berdasarkan penyebabnya, yaitu
Gangguan Intrakorpuskular
Gangguan Ekstrakorpuskular
A. Herediter-Familial
1. Gangguan membran eritrosit (membranopati).
a. Hereditary spherocytosis
b. Hereditary elliptocytosis
c. Hereditary stomatocytosis
2. Gangguan metabolisme/ensim eritrosit (ensimnopati)
a. Defek jalur heksosemonofosfat defisiensi G-6PD (glucose-6 phospate dehydrogenase)
b. Defek jalur Embden Meyerhoff Defisiensi piruvat-kinase
c. Nucleotide enzyme defect.
3. Gangguan pembentukan hemoglobin (hemoglobinopati)
a. Hemoglobinopati struktural (kelainan struktur asam amino pada rantai α atau β. HbC, HbD, HbE, HbS, dll)
b. Sindrom thalassemia (gangguan sintesis rantai α atau β). Thalassemia α atau β, dll.
c. Heterozigot ganda hemoglobinopati dan thalassemia Thalassemia HbE, dll
B. Didapat
Paeroxysmal Noctural Hemoglobinuria
A. Didapat
1. Imun
a. Autoimun
Ø Warm antibody type
Ø Cold atibody type
c. Aloimun
a. Hemolytic tranfusion reactions
b. Hemolytic disease of new born
c. Allograft (bone marrow transplantation)
2. Drug Associated
3. Red cell fragmentation
a. Graft arteri
b. Katup jantung (buatan)
4. Mikroangiopatik
a. Thrombotic Thrombocytopenic purpura (TTP).
b. Hemolytic uremic syndrome (HUS)
c. Disseminated intravascular coagulation (DIC).
d. Pre-eklampsia
5. March hemoglobinuria
6. Infeksi
a. Malaria
b. Clostridia
7. Bahan kimia dan fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah tangga
c. Luka bakar luas
8. Hipersplenisme
4. Hemoglobinopati
Hemoglobinopati adalah sekelompok kelainan herediter yang ditandai oleh gangguan pembentukan molekul hemoglobin. Kelainan ini dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :
a. Hemoglobinopati struktural
Di sini terjadi perubahan sturktur hemoglobin (kualitatif) karena substitusi satu asam amino atau lebih pada salah satu rantai peptida hemoglobin. Hemoglobinopati yang penting sebagian besar merupakan varian rantai beta. Pada hemoglobinopati struktural dapat ditemukan splenomegali namun tidak dapat ditemukan hepatomegali. Contoh hemoglobinopati struktural adalah penyakit HbC, HbE, HbS dll
b. Thalassemia
Thalassemia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal (kuantitatif). Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies. Eritrosit yang mengandung Heinz Bodies ini mengalami hemolisis intramedular sehingga terjadi eritropoesis inefektif, disertai pemendekan masa hidup eritrosit yang beredar. Sering diikuti kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk konfigurasi lain.
5. Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara autosomal resesif yang secara umum terdapat penurunan kecepatan sintesis pada satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin. Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia α dan thalassemia β. Namun berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia mayor dan thalassemia intermedia.
b. Klasifikasi
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia α dan thalassemia β. Namun berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia mayor dan thalassemia intermedia.
o Thalassemia Alfa (α-thalassemia)
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa pada bayi yang baru lahir masih terdapat jumlah HbF(α2γ2) yang masih cukup tinggi. Pada usia 20 hari sesudah kelahiran kadar HbF akan menurun dan setelah 6 bulan kadarnya akan menjadi normal seperti orang dewasa. Selanjutnya pada masa tersebut akan terjadi konversi HbF menjadi HbA(α2β2) dan HbA2 (α2δ2).
Pada kasus thalassemia α, akan terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan produksi rantai globin α (memiliki 4 lokus genetik) menurun yang menyebabkan adanya kelebihan rantai globin β pada orang dewasa dan kelebihan rantai γ pada newborn. Derajat thalassemia α berhubungan dengan jumlah lokus yang termutasi (semakin banyak lokus yang termutasi, derajat thalassemia semakin tinggi)
Ø Silent carrier α thalassemia :
Salah satu dari empat gen α absent (αα/αo). Tiga loki α globin cukup memungkinkan produksi Hb normal. Secara hematologis sehat, kadang-kadang indeks RBC rendah. Tidak ada anemia dan hypochromia pada orang ini. Diagnosis tidak dapat ditentukan dengan elektroforesis. Etnis populasi African American. CBC (Complete blood count) salah satu orangtua menunjukkan hypochromia dan microcytosis.
Ø α thalassemia trait :
Delesi pd 2 gen α (αα/oo) atau (αo/αo). Dua loki α globin memungkinkan erythropoiesis hampir normal, tetapi ada anemia hypochromic microcytic ringan dan indeks RBC rendah.
Ø α thalassemia intermedia (Hb H disease) :
Delesi 3 gen α globin (αo/oo). 2 Hb yagn tidak stabil ada dlm drh : HbH (tetramer rantai β) & Hb Barts (tetramer rantai γ). Kedua Hb yang tidak stabil ini memp afinitas yang › thd O2 drpd Hb normal → pengiriman O2 yg rendah ke jaringan. Ada anemia hypochromic microcytic dg sel-sel target dan “Heinz bodies” (precipited HbH) pd preparat apus drh tepi, juga splenomegali. Kelainan ini nampak pd masa anak-anak atau pd awal kehidupan dewasa ketika anemia dan splenomegali terlihat
Ø α thalassemia major/homozygous α thalassemia
Delesi sempurna 4 gen α (oo/oo). Fetus tdk dpt hidup segera sesdh keluar dr uterus dan kehamilan mungkin tdk bertahan lama. Sebag besar bayi dmk mati pd saat lahir dg hydrops fetalis,dan bayi yg lahir hidup akan segera mati stlh lahir, kecuali transfusi darah intrauterine diberikan. Mereka edema dan memp sedikit Hb yg bersirkulasi, dan Hb yg ada semua tetramer rantai γ (Hb Barts).
o Thalassemia Beta (β-thalassemia)
Thalassemia β terkadi karena mutasi pd gen HBB pd khromosom 11. Thalassemia ini diturunkan scr autosom resesif. Derajat penyakit tgt pd sifat dasar mutasi. Mutasi diklasifikasikan sbg (βo) jika mereka mencegah pembtkan rantai β, mereka dikatakan sbg (β+) jika mereka memungkinkan formasi bbrp rantai β terjadi.
Terdapat rantai α relatif berlebihan, ttp ini tdk membtk tetramer. Mereka berikatan dg membran sel drh merah, yg menyebabkan kerusakan membran, dan pd konsentrasi tinggi mereka membtk agregat toksik.
Ø Silent carrier β thalassemia : mutasi ® tidak ada gejala, kecuali kemungkinan indeks RBC rendah. Mutasi ® thalassemia sangat ringan (β+ thalassemia),
Ø β thalassemia trait/minor : produksi rantai β berkisar dari 0 – tingkat defisiensi yang bervariasi. Anemia ringan, indeks RBC abnormal & Hb elektroforesis abnormal (HbA2 &/ HbF ). Hipochromia & microcytosis, target cells and faint basophilic stippling. Pada sebagian besar kasus asimtomatik, dan banyak penderita tidak menyadari kelainan ini. Deteksi biasanya dengan mengukur ukuran RBC (MCV : mean corpuscular volume) dan memperhatikan volume rata-rata yang agak ↓ daripada normal.
Ø β Thalassemia intermedia (heterozygous) : suatu kondisi tengah antara bentuk major dan minor. Penderita dapat hidup normal, tetapi mungkin memerlukan transfusi sekali-sekali, misal pada saat sakit atau hamil, tergantung pada derajad anemianya.
Ø β thalassemia associated with β chain structural variants : sindrom thalassemia (HbE/β thalassemia). Secara klinik : seringan thalassemia intermedia – thalassemia major.
Ø Thalassemia major (Cooley anemia) : kedua allele β-globin mutasi. Hypochromic & microcytosis berat, anisocytosis, RBC terfragmentasi, hypochromic macrocytes, polychromasia, RBC bernucleus & kadang leukosit immatur. Anemi tergantung transfusi, massive splenomegaly, bone deformities, retardasi pertban. Tanpa pengobatan mati dalam 5 tahun pertama sebab komplikasi anemia.
c. Patofisiologi
Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis.
d. Patogenesis
o Thalassemia Alfa
Pada thalassemia alfa terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan tidak terbentuknya rantai globin α. Pada newborn yang masih memiliki Hb F (α2γ2), kekurangan rantai globin α menyebabkan terdapat rantai globin γ yang tidak berpasangan. Rantai globin γ yang tidak berpasangan tersebut, kemudian akan membentuk tetramer sebagai Hb Barts. Sedangkan pada bayi > 6 bulan (dimana kadar HbF sama dengan orang dewasa) terdapat Hb A (α2β2), kekurangan rantai globin α menyebabkan rantai β tidak berpasangan yang kemudian membentuk tetramer sebagai HbH.
Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoiesis yang kurang efektif. Tetramer HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena HbH dan Hb Bart’s adalah homotetramer yang tidak mengalami perubahan allosentrik yang diperlukan untuk transpor oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bisa melepas oksigen pada tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Hb Bart’s sebanding dengan beratnya hipoksia
o Thalassemia Beta
Pada thalassemia beta terjadi mutasi pada kromosom 11 yang menyebabkan tidak terbentuknya rantai globin β yang mengakibatkan kelebihan rantai globin α pada HbA (α2β2). Kelebihan rantai α akan mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prokursor eritrosit yang hebat intramedular. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga pada thalassemia β disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit dan memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Terjadinya eritropoesis yang berlangsusng tidak efektif mengakibatkan jumlah eritrosit normal yang dibutuhkan menjadi berkurang. Hal ini menimbulkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang (intramedular), dan bila masih belum mencukupi akan dibantu dengan eritropoesis ekstramedular pada hati dan limpa.
Sebagian kecil precursor eritrosit memiliki kemampuan membuat rantai γ menghasilkan HbF extra uterine. Pada thalassemia β sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk HbF. Kombinasi anemia pada thalassemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi , menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan parubahan tulang, peningkatan absorbsi besi, metabolisme yang tinggi dan gambaran klinis thalassemia β mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa yang diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit dalam limpa, sehngga menimbulkan gambaran hiperplenisme.
.
e. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemia. Gejala awal pucat (karena pecahnya sel darah merah) mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terlambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama bisanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatomegali (pada kasus thalassemia berat) dan splenomegali yang dapat menyebabkan penderita mudah terserang infeksi. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoiesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawatan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, pembesaran ginjal dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme. Selain itu terdapa pula Osteoporosis
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantara, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).
f. Diagnosis Banding
o Thalassemia
o Anemia Hemolitik
o Hemoglobinopathy struktural
g. Pemeriksaan Penunjang
Anemia biasanya berat, dengan kadar Hb berkisar 3-9 g/dL. Eritrosit memperlihatkan anisositosis, poikilositosis, dan hipokromia berat. Sering ditemuakn sel target dan tear drop cell. Normoblas (eritrosit berinti) banyak dijumpai pasca splenoktomid. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan eritropoiesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb. Pada talasemia beta kadar HbF bervariasi 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
Pada pemeriksaan laboratorium, penderita thalassemia berat memiliki penurunan Hemoglobin (2-5 g/dl), hematokrit, eritrosit, MCV, MCHC, MCH, namun terjadi kenaikan retikulosit. Pada anak-anak, jumlah hemoglobin normal adalah 10 – 16 gr/dl, jumlah AL adalah 9000-12.000/ μl, AL pada anak-anak adalah 200.000-400.000 / μl darah, dan Hematokrit pada anak-anak adalah 33-38 volume %.
h. Diagnosis Antenatal
Dapat dilakukan baik dengan memeriksa sintesis rantai globin dalam darah janin yang diambil dengan foetoskopi atau dengan memakai pemeriksaan cDNA (cDNA probes) untuk dicangkok (hybridize) dengan DNA janin yang diperoleh baik dengan amniosentesis atau dengan biopsi trifoblas. Prosedurnya mengandung risiko, tetapi diindikasikan untuk mencegah kelahiran anak dengan β-thalassemia mayor. Jika orang tua dan dokter setuju, prosedur ini juga dapat dipakai untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat hemoglobin mayor lain.
i. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan cara yang dapat menyembuhkan thalassemia. Namun terdapat beberapa terapi untuk mengurangi gejala yang ditimbulkannya:
o Atasi anemia dengan transfusi PRC. Transfusi hanya diberikan bila Hb <8g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi transfusi darah, Hb harus selalu dipertahakan di atas 12 g/dL tidak melebihi 15 g/dL. Bila tidak terdapat tanda gagal jantung dan Hb sebelum transfusi di atas 5 g/dL, diberikan 10-15 mg/kgBB per satu kali pemberian selama 2 jam atau 20 mL/kgBB dalam waktu 3-4 jam. Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung, atau Hb <5 g/dL, dosis satu kali pemberian tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB dengan kecepatan tidak lebih dari 2 mL/kgBB/jam. Sambil menunggu persiapan transfusi darah diberikan oksigen dengan kecepatan 2-4 1/menit. Setiap selesai pemberian satu seri transfusi, kadar Hb pasca transfusi diperiksa 30 menit setelah pemberian transfusi terakhir. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan kelasi besi, yaitu Desferal secara im atau iv.
o Usaha untuk mencegah penumpukan besi (hemochromatosis) akibat transfusi dan akibat patogenesis dari thalassemia dapat dilakukan dengan pemberian iron chelator yaitu desferoksamin (desferal R) sehingga mengingkatkan ekskresi besi dalam urine. Desferal diberikan dengan infusion bag atau secara subkutan.
o Pemberian asam folat 5 mg/hari secara oral untuk mencegah krisis megaloblastik.
o Usaha untuk mengurangi proses hemolisis dengan splenektomi jika splenomegali cukup besar dan terbukti adanya hipersplenisme sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intraabdominal yang mengganggu napas dan berisiko mengalami ruptur. Hipersplenisme dini ditandai dengan jumlah transfusi melebihi 250 mL/kgBB dalam 1 tahun terakhir dan adanya penurunan Hb yang drastis. Hipersplenisme lanjut ditandai oleh adanya pansitopenia. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada umur 5 tahun ke atas saat fungsi limpa dalam sistem imun tubuh telah dapat diambil alih oleh organ limfoid lain.
o Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C perlu dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui transfusi darah.
o Terapi definitif dengan transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan pada setiap kasus baru dengan talasemia mayor. Transplantasi yang berhasil akan memberikan kesembuhan permanen.
o Secara berkala dilakukan pemantauan fungsi organ, seperti jantung, paru, hati, endokrin termasuk kadar glukosa darah, gigi, telinga, mata, dan tulang.
j. Prognosis
Tidak ada pengobatan untuk Hb Bart’s. Pada umumnya kasus penyakit Hb H mempunyai prognosis baik, jarang memerlukan transfuse darah atau splenektomi dan dapat hidup biasa. Thalassemia alfa 1 dan thalassemia alfa 2 dengan fenotip yang normal pada umumnya juga mempunyai prognosis baik dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
Transplantasi sumsum tulang alogenik adalah salah satu pengobatan alternative tetapi hingga saat ini belum mendapatkan penyesuaian hasil atau bermanfaat yang sama di antara berbagai penyelidik secara global.
Thalassemia β homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia decade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating agents (desferal) untuk mengurangi hemosiderosis (harga umumnya tidak terjangkau oleh penduduk Negara berkembang). Di Negara maju dengan fasilitas transfuse yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai decade ke 5 dan kualitas hidup juga lebih baik.
III. PEMBAHASAN
Dari skenario 2 dimana terdapat seorang anak laki-laki berumur 2 tahun dengan keluhan lemas, yang mana didapatkan heteroanamnesis yaitu terlihat lemas, pucat dan mudah capek kurang lebih sejak 6 bulan lalu. Anak tersebut sering panas dan batuk pilek serta sudah dua kali ke puskesmas dan mendapatkan obat tambah darah namun keadaannya tetap tidak membaik,. Anak tersebut merupakan anak pertama yang mana ibunya sedang hamil anak kedua. Saudara sepupu anak tersebut memiliki gejala penyakit yang sama dan sering mendapatkan transfusi darah. Pada pemeriksaan fisisk didapat keadaan anak umum tersebut tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis, lemas. Tanda vital :frekwensi nadi 120 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu badan 38oC, tonsil membesar dan kemerahan, faring kemerahan, teraba splenomegali 1 shuffner dan hepatomegali sebesar 2 jari di bawah arcus costarum. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil : Hb 4,8 g/dl, AL 15.200/μl, AT 480.000/μl dan hematokrit 14,8%.
Berdasarkan heteroanamnesis, anak tersebut terlihat lemas, pucat dan mudah capek dikarenakan berkurangnya volume darah, haemoglobin dan vasokonstriksi untuk memperbesar pengiriman Oksigen ke organ-organ vital. Berkurangnya volume darah untuk pengiriman oksigen disebabkan eritropoesis yang tidak efektif yang menyebabkan umur eritrosit yang memendek. Umur eritrosit yang memendek disebabkan karena adanya Heinz Body (inclusion body) yang dibentuk dari adanya kelebihan rantai globin α arena pasangan rantai α yaitu rantai globin β pada HbA berkurang/tidak diproduksi sama sekali. Tidak terbentuknya rantai globin β disebabkan adanya mutasi pada kromosom 11.
Adanya hepatosplenomegali disebabkan hepar dan limpa yang bekerja sangat keras dalam merombak eritrosit. Adanya hepatosplenomegali menyebabkan jumlah/angka trombosit meningkat. Pada kasus thalassemia (masuk ke dalam jenis anemia hemolitik), terjadi destruksi eritrosit yang lebih cepat dari normal (Eritrosit abnormal). Eritrosit ketika melalui bagian pulpa limpa akan diperas. Eritrosit yang abnormal, rapuh, dan membrannya tidak elastis akan mengalami trauma dan didestruksi di limpa. Pada penderita thalassemia, Hbnya tidak normal, maka semakin banyak eritrosit yang didestruksi sehingga limpa bekerja keras dan timbul splenomegali. Hal tersebut menyebabkan proses eritropoesis yang lebih cepat (untuk memenuhi kebutuhan eritrosit yang mengakibatkan jumlah Hemoglobin dan Hematokrit meningkat), sehingga diperlukan tambahan eritrosit selain dari sumsum tulang yaitu dari hepar dan limpa. Selain itu, hal tersebut mengakibatkan eritrosit muda (retikulosit) juga dikeluarkan ke dalam darah tepi, sehingga jumlah retikulosit meningkat.
Anak tersebut sering panas, batuk pilek, tonsil membesar, dan faring kemerahan disebabkan adanya infeksi yang menyerang anak tersebut. Anak tersebut mudah terkena infeksi karena sistem imun yang menurun. Hal tersebut karena hati dan limpa (sebagai organ yang memproduksi antibody dan menetralisir racun) membengkak, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Selain itu, adanya infeksi mengakibatkan jumlah/angka leukosit meningkat.
Keadaan anak yang tidak membaik pada saat pemberian obat penambah darah mengindikasikan bahwa penyakit anak tersebut tidak dikarenakan defisiensi besi (karena sebagian besar obat penambah darah mengandung Fe atau besi) sehingga tidak ada gangguan pada heme, namun terdapat gangguan pada rantai globin. Hal tersebut mengindikasikan adanya thalassemia dimana pada thalassemia terdapat gangguan pada sintesis rantai globin α atau β
Berdasarkan patofisiologi dan patogenesis thalassemia, mutasi gen globin à produksi rantai globin berkurang atau tidak ada à produksi Hb berkurang à eritrosit mudah rusak/umur lebih pendek dibanding normal (hemolisis) à hati mengalami hepatomegali karena kerjanya terlalu berat dalam perombakan eritrosit à limpa menggantikan fungsi hati dalam perombakan eritrosit à kerjanya terlalu berat à mengalami splenomegali à hepatomegali à karena hepatosplenomegali menyebabkan perut buncit.
Penatalaksanaan pada penderita thalassemia α berbeda dengan penatalaksanaan pada penderita thalassemia β. Secara umum, upaya rehabilitatif bagi penderita thalassemia diantaranya adalah pemantauan tumbuh kembang dan diet Fe dibantu dengan vitamin C. Usaha preventif yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan konseling pranikah. Umunya, penderita thalassemia β tidak dapat disembuhkan, hdapat dijaga kesehatannya dengan transfusi darah, desferal, desferiprone, atau splenektomi. Sedangkan bagi penderita Hb Bart, sampai sekarang belum ditemukan obatnya dan hanya dapat dilakukan cara alternatif, yang dalam hal ini juga belum dapat diyakini kebenarannya, yaitu transplantasi sumsum tulang alogenik.
Setelah melakukan studi kasus secara keseluruhan pada skenario 2 blok IV, penulis mendiagnosis bahwa pasien tersebut (anak lakilaki berumur 2 bulan) positif menderita thalassemia, yang dalam konteks kali ini adalah thalassemia β mayor (salah satu jenis hemoglobinopati yang disebabkan kelainan sintesis rantai globin dan termasuk salah satu dari anemia hemolitik) dilihat dari gejala-gejala klinis, seperti anemis, hepatomegali, dan splenomegali; dan dipastikan lagi dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara menyeluruh. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain tes hematologi rutin, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), retikulosit, bilirubin, gambaran darah tepi, elektroforesis Hb, dan analisis DNA. Penyakit ini bukan hemoglobinopati sturktural dikarenakan pada hemoglobinopati struktural tidak ditemukan adanya hepatomegali. S
Penatalaksanaannya dapat dilakukan sesuai dengan yang sudah penulis ungkapkan pada paragraph di atas. Sedangkan untuk prognosis, penulis mempunyai hipotesis, pasien tersebut harus mendapatkan transfuse darah yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik agar nantinya dapat bertahan hidup lebih lama. Selain itu, pasien tersebut juga harus senantiasa menerapkan pola hidup sehat. Mengingat talasemia adalah penyakit genetik yang tidak saja menimbulkan masalah kesehatan, namun juga berkaitan dengan masalah tumbuh kembang dan masalah sosial, maka upaya pencegahan sangat diperlukan sejak dini. Di negara maju, program pencegahan dilakukan melalui skreening antenatal (sebelum melahirkan). Pemeriksaan pranikah penting dilakukan untuk mengetahui faktor genetik talasemia, disamping kepentingan skreening lainnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dari hasil heteroanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, anak tersebut didiagnosa menderita thalassemia.
2. Thalassemia merupakan bagian dari hemoglobinopati yang merupakan salah satu dari jenis anemia hemolitik.
3. Thalassemia pada anak tersebut belum pasti diketahui jenisnya. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar nantinya dalam penatalaksanaan penanganan yang dilakukan dapat tepat sesuai dengan jenis thalassemianya. Akan tetapi, kemungkinan besar thalassemia beta mayor. Hal ini dikarenakan terdapat gejala hepatosplenomegali.
4. Penatalaksanaan pada thalassemia diberikan kelasi besi (desferoxamine), Vitamin C 100-250 mg perhari, Asam folat 2-5 mg perhari, dan Vitamin E 200-400 IU (International Unit) perhari.
5. Prognosis dari thalassemia pada umumnya baik apabila diberi penatalaksanaan yang sesuai. Tetapi pada skenario 2 ini, terdapat gejala hepatosplenomegali yang mengindikasikan bahwa penderita yang masih berusia 2 bulan telah sampai pada stadium berat. Dalam hal ini, prognosisnya buruk.
6. Di samping terapi medikamentosa, juga diberikan edukasi dan program prevensi.
1. Latar Belakang
Hematologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan jaringan limforetikuler serta kelainan-kelainan yang timbul darinya. Thalassemia merupakan kelainan hematologi yang jarang dijumpai baik di klinik maupun di lapangan. Thalassemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimana produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu. Secara laboratorik, anemia dijabarkan sebagai kelainan letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar dengan jenis asam amino lain. Anemia dapat dilasifikasikan berdasarkan defek genetik molekuler dan beratnya gejala klinis
Dalam skenario 2, dijelaskan bahwa ada seorang anak laki-laki 2 tahun datang dengan keluhan lemas. Dari heteroanamnesis, sejak 6 bulan ini, anak terlihat lemas, pucat, dan mudah capek, serta sering panas dan batuk pilek (sebulan bisa 2 kali sakit). Sudah 2 kali mendapat obat tambah darah tapi tidak membaik. Pasien adalah anak pertama, ibu pasien sedang hamil anak kedua(2 bulan). Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi kurang. Dalam keluarga, salah satu sepupunya juga menderita penyakit yang sama dan sering mendapat transfusi darah. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum : anak tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis, lemas. Tanda vital : frekuensi nadi 120 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu badan 38o C. Tonsil membesar dan kemerahan, faring kemerahan.teraba splenomegali sebesar 1 shuffner dan hepatomegali sebesar 2 jari di bawah arcus costarum. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil=Hb:4,8 g/dL,AL:15.200/μL,AT 480.000/μL, dan Hct 14,8%.
Pengetahuan khusus mengenai thalassemia dan sintesis hemoglobin memberi wawasan mengenai dasar hematologi dalam skenario ini. Oleh karena itu, dalam laporan ini penulis akan membahas mengenai klasifikasi, etiologi, patogenesis, penatalaksanaan, dan hal-hal yang berkaitan dengan thalassemia dengan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar hematologi yang relevan.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana sintesis, fungsi, dan tahapan perkembangan hemoglobin dalam tubuh?
b. Apa saja jenis hemoglobin patologis?
c. Apakah pengertian dari thalassemia, anemia hemolitik, dan hemoglobinopathy?
d. Bagaimana gejala klinis, patogenesis, dan patofisiologi dari ketiganya?
e. Bagaimana cara menegakkan diagnosis sesuai dengan skenario 2 ini berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium?
f. Apa saja jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan skenario kali ini?
g. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada penyakit yang didiagnosis?
3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui sintesis, fungsi, dan tahapan perkembangan hemoglobin dalam tubuh.
b. Untuk mengetahui jenis-jenis hemoglobin patologis.
c. Untuk mengetahui pengertian dari thalassemia, anemia hemolitik, dan hemoglobinopathy.
d. Untuk mengetahui gejala klinis, patogenesis, dan patofisiologi dari ketiganya.
e. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis sesuai dengan skenario 2 ini.
f. Untuk mengetahui jenis-jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan skenario kali ini.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan prognosis pada penyakit yang didiagnosis.
4. Manfaat Penulisan
a. Mampu menjelaskan sintesis, fungsi, dan tahapan perkembangan hemoglobin dalam tubuh.
b. Mampu menjelaskan jenis-jenis hemoglobin patologis.
c. Mampu menjelaskan pengertian dari thalassemia, anemia hemolitik, dan hemoglobinopathy.
d. Mampu menjelaskan gejala klinis, patogenesis, dan patofisiologi dari ketiganya.
e. Mampu menjelaskan cara menegakkan diagnosis sesuai dengan skenario 2 ini.
f. Mampu menjelaskan jenis-jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan skenario kali ini.
g. Mampu menjelaskan penatalaksanaan dan prognosis pada penyakit yang didiagnosis.
5. Hipotesis
a. Thalassemia merupakan salah satu penyakit yang disebabkan adanya gangguan sintesis rantai globin α atau β yang termasuk salah satu penyakit dari gangguan hemoglobin (hemoglobinopati). Hemoglobinopati itu sendiri merupakan salah satu penyakit anemia hemolitik.
b. Gejala klinis yang ditimbulkan, disebabkan karena destruksi eritrosit yang terlalu cepat (eritrpoesis inefektif) sehingga menimbulkan kelainan hemoglobin (khususnya sintesis rantai globin α atau β).
c. Hepatosplenomegali disebabkan karena kerja hepar dan limpa yang sangat aktif dalam mendestruksi dan pembentukan eritrosit..
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Klarifikasi Istilah :
o Faring : Sel muskulo membran yang terletak antara mulut, rongga hidung, dan esofagus
Tonsil : Salah satu jenis limfadenopati
Splenomegali : Pembesaran spleen/lien
Hepatomegali : Pembesaran Hepar
o Shuffner : Satuan splenomegali (ditarik garis dari arcus costarum sampai umbilicus, lalu dibagi 1-3 bagian)
Arcus Costarum : Lengkung Iga
2. Hemoglobin
Sintesis Hemoglobin dan Katabolisme Hemoglobin
Hemoglobin terdiri dari ikatan heme-globin. Sintesis heme terutama terjadi di mitokondria. Bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil ko-A untuk kerja enzim kunci asam δ-aminolevulinat /ALA (enzim yang mengatur kecepatan produlsi hemoglobin) dengan koenzimnya adalah Piridoksal Fosfat (vitamin B12) yang dirangsang oleh eritropoetin. Yang kemudian membentuk profobilinogen. Selanjutnya profobilinogen akan menjadi uroporfirinogen III (yang akan menjadi uroporfirin III) dan uroporfirin I (yang akan menjadi uroporfirin I). Uroporfirinogen III akan mengalami konversi menjadi koproporfirinogen III (menjadi koproporfirin III). Koproporfirinogen III akan membentuk protoporfirin IX yang kemudian menjadi pirol. Protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk membentuk heme. Masing-masing molekul heme akan bergabung dengan 1 rantai globin yang dibuat pada ribosom, membentuk suatu subunit Hemoglobin yang disebut rantai Hb. Empat dari rantai Hb tersebut selanjutnya akan berikatan satu sama lain secara longgar untuk membentuk molekul Hemoglobin yang lebih lengkap.
Penghancuran sel darah merah terjadi dalam sistem retikuloendotelial yaitu dalam hati dan limpa. Hemoglobin bebas dipecah menjadi heme (persenyawaan Fr-protoporfirin) dan globin. Persenyawaan Fe-protoporfirin kemudian menjadi hematin. Rantai porfirin dipecah oleh suatu oksidasi pada jembatan α-metan, Fe tetap terikat pada persenyawaan ikatan globin pun tetep tidak terputus. Persenyawaan tersebut dinamakan verdo-hemoglobin. Kemudian Fe dan globin lepas dan terbentuk biliverdin. Biliverdin selanjutnya akan menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan itu diikat oleh protein dalam jaringan dan melalui plasma diangkut ke sumsum tulang untuk dipergunakan pada pembentukan heme, sedangkan globin yang dilepaskan akan dipecah menjadi asam amino lagi yang kemudia disintesis menjadi protein.
Bilirubin yang dibentuk (tidak larut dalam air) diikat oleh albumin dan diangkut dalam plasma dari tempat pemnghancuran itu ke hati. Dalam hati bilirubin ini bersenyawa dengan asam glukoronat dengan bantuan enzim glukoronil transverase. Persenyawaan ini larut dalam air dan menyebabkan reaksi Hijmans van den Bergh positif. Bilirubin yang belum bersenyawa dengan asam glukoronat akan bereaksi indirek dengan reagensia Hijmans van den Bergh. Persenyawaan bilirubin-glukoronid ini akan keluar dari hati dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri yang ada pada usus, persenyawaan ini akan diubah menjadi urobilin yang akan dilkeluarkan bersama-sama tinja. Sebagian urobilinogen yang terdapat dalam usus akan diserap kembali melalui plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi dikeluarkan melalui ginjal.
Fungsi Hemoglibin
- Fungsi Hemoglobin Hb berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen
- Fungsi utamanya bergantung pada kemampuannya bergabung dengan O2 dalam paru-paru dan melepaskan O2 dalam kapiler jaringan dimana tekanan gas O2 jauh lebih kecil daripada paru-paru
- Oksigen diangkut ke jaringan sebagai oksigen molekular dan dilepaskan ke dalam cairan jaringan dalam bentuk oksigen molekuler terlarut
- Proses pengikatan O2 oleh Hb :
àEritrosit dalam darah arteri sistemik mengangkut O2 dari paru-paru ke jaringan dan kembali dalam darah vena dengan membawa CO2 dari paru-paru
ü Pada saat molekul Hb mengangkut dan melepas O2, masing-masing rantai globin dalam molekul Hb bergerak satu sama lain
ü Pada waktu O2 dilepaskan, rantai-rantai β tarik terpisah, sehingga memungkinkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang menyebabkan makin rendahnya afinitas molekul Hb terhadap O2.
Hemoglobin Patologis
o HbC
à Terdapat pada 2% kalangan kulit hitam Amerika. Pada keadaan heterozigot (Hgb AC) tidak ditemukan anemia atau penyakit, tetapi ditemukan peningkatan jumlah sel target dalam darah tepi. Pada orang-orang homozigot (penyakit Hgb CC) dapat ditemukan anemia hemolitik dengan derajat sedang dan kadar Hb 8-11 g/dL, retikulositosis 5-10% dan splenomegali. Darah tepi mengandung sel target dan sferosit dalam jumlah banyak
o Hb D
à Dalam Hb Ds termasuk beberapa varietas Hb abnormal dengan mobilitas elektroforesis serupa dengan Hgb S, tetapi dengan sifat biokimia dan fisik yang berbeda. Sikling tidak terjadi pada sindroma Hgb D. Keadaan homozigot (Hgb DD) ditandai dengan anemia hemolitis ringan dan splenomegali.
o Hb E
à Hb E prevalen pada orang-orang dari Asia tenggara terutama Thailand. Penyakit Hgb E homozigot ditandai dengna anemia hemolitis ringan dengan sel target nyata serta mikrositosis dengan splenomegali sedang hingga berat. Temuan-temuan klinis dan hematologis mirip dengan Hgb C.
o Penyakit Hb SC
à Jika kedua gen Hgb S dan Hgb C ditemukan pada orang yang sama, akan terjadi suatu anemia dengan derajat sedang disertai splenomegali. Ditemukan episode vaso-oklusi tetapi biasanya jarang dan ringan dibandingkan pada penyakit sel sabit. Nekrosis apseptik dari kaput femoris kadang-kadang merupakan penyulit dan ditemukan kerusakan retina berat. Kadar Hb rata-rata 9-10 g/dL. Sel target banyak, tetapi sel sabit yang ireversibel jarang ditemuui dalam darah tapi. Pada elektroforesis Hb menunjukkan campuran sama Hgb S dan Hgb C dengan sedikit peningkatan Hgb F. Penyakt Hgb SC biasanya tidka mempengaruhi pertumbuhan dan berhubungan dengan daya tahan yang berlanjut hingga dewasa. Krisis aplastis dan sekuestrasi merupakan ancaman terhadap hidup.
Tahap Perkembangan Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) adalah suatu protein protein tetramerik (protein yang terdiri dari 4 rantai polipeptida yang terbentuk dari heme dan globin. Pada manusia dewasa Hb utama (mayor) disebut Hb A (Adult=A1), yang terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai β (α2 β2). Kadarnya mencapai lebih kurang 95% dari seluruh Hb. Selain Hb A, pada manusia dewasa terdapat hemoglobin pendamping (minor) yang disebut Hb A2, terdiri dari 2 rantai α dan 2 rantai δ (α2 δ2). Kadar Hb A2 pada orang dewasa adalah ± 2%.
Pada bayi (neonatus) dan janin (embrio) terdapat bentuk Hb lain, yaitu Hb F (Hb fetal) dan Hb embrional : Hb Gowers 1, Hb Gowers 2, dan Hb Fortland. Komposisi masing-masing Hb tersebut adalah sebagai berikut :
Hb F : alfa2 gamma2 = α2γ2
Hb Gowers 1 : alfa2 epsilon2 = α2 ε2
Hb Gowers 2 : zeta2 epsilon2 = ζ2 ε2
Hb Portland : zeta2 gamma2 = ζ2 γ2
Hb F bertahan sampai bayi berumur 20 minggu post partum. Setelah lahir, kadar Hb menurun dan pada usia 6 bulan ke atas mencapai kadar seperti pada orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4% pada keadaan normal. Pada manusia dewasa normal Hb F masih ditemukan walaupun dalam jumlahnya yang sangat kecil (kurang dari 1%). Hb embrional hanya bertahan sampai umur janin 10 minggu saja. Disamping Hb “normal” ditemukan pula Hb abnormal yaitu Hb H (β4) dan Hb Bart’s (γ4) yang ditemukan pada Thalassemia α serta merupakan tanda khas dari penyakit ini.
3. Anemia Hemolitik
Anemia karena proses hemolisis (pemecahan eritrosit di dalam pembuluh darah sebelum waktunya atau sebelum 120 hari). Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah (intravaskular) atau di luar pembuluh darah (ekstravaskular). Pada orang normal, hemolisis direspon dengan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang yang memiliki kemampuan 6 sampai 8 kali normal. Anemia hemolitik terjadi bila kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui lebih dari 6 sampai 8 kali peningkatan eritropoesis.
Anemia hemolitik diklasifikasikan menjadi dua macam berdasarkan penyebabnya, yaitu
Gangguan Intrakorpuskular
Gangguan Ekstrakorpuskular
A. Herediter-Familial
1. Gangguan membran eritrosit (membranopati).
a. Hereditary spherocytosis
b. Hereditary elliptocytosis
c. Hereditary stomatocytosis
2. Gangguan metabolisme/ensim eritrosit (ensimnopati)
a. Defek jalur heksosemonofosfat defisiensi G-6PD (glucose-6 phospate dehydrogenase)
b. Defek jalur Embden Meyerhoff Defisiensi piruvat-kinase
c. Nucleotide enzyme defect.
3. Gangguan pembentukan hemoglobin (hemoglobinopati)
a. Hemoglobinopati struktural (kelainan struktur asam amino pada rantai α atau β. HbC, HbD, HbE, HbS, dll)
b. Sindrom thalassemia (gangguan sintesis rantai α atau β). Thalassemia α atau β, dll.
c. Heterozigot ganda hemoglobinopati dan thalassemia Thalassemia HbE, dll
B. Didapat
Paeroxysmal Noctural Hemoglobinuria
A. Didapat
1. Imun
a. Autoimun
Ø Warm antibody type
Ø Cold atibody type
c. Aloimun
a. Hemolytic tranfusion reactions
b. Hemolytic disease of new born
c. Allograft (bone marrow transplantation)
2. Drug Associated
3. Red cell fragmentation
a. Graft arteri
b. Katup jantung (buatan)
4. Mikroangiopatik
a. Thrombotic Thrombocytopenic purpura (TTP).
b. Hemolytic uremic syndrome (HUS)
c. Disseminated intravascular coagulation (DIC).
d. Pre-eklampsia
5. March hemoglobinuria
6. Infeksi
a. Malaria
b. Clostridia
7. Bahan kimia dan fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah tangga
c. Luka bakar luas
8. Hipersplenisme
4. Hemoglobinopati
Hemoglobinopati adalah sekelompok kelainan herediter yang ditandai oleh gangguan pembentukan molekul hemoglobin. Kelainan ini dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :
a. Hemoglobinopati struktural
Di sini terjadi perubahan sturktur hemoglobin (kualitatif) karena substitusi satu asam amino atau lebih pada salah satu rantai peptida hemoglobin. Hemoglobinopati yang penting sebagian besar merupakan varian rantai beta. Pada hemoglobinopati struktural dapat ditemukan splenomegali namun tidak dapat ditemukan hepatomegali. Contoh hemoglobinopati struktural adalah penyakit HbC, HbE, HbS dll
b. Thalassemia
Thalassemia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal (kuantitatif). Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies. Eritrosit yang mengandung Heinz Bodies ini mengalami hemolisis intramedular sehingga terjadi eritropoesis inefektif, disertai pemendekan masa hidup eritrosit yang beredar. Sering diikuti kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk konfigurasi lain.
5. Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia merupakan kelompok heterogen anemia hemolitik herediter yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak-anaknya secara autosomal resesif yang secara umum terdapat penurunan kecepatan sintesis pada satu atau lebih rantai polipeptida hemoglobin. Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia α dan thalassemia β. Namun berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia mayor dan thalassemia intermedia.
b. Klasifikasi
Secara molekuler thalassemia dibedakan atas thalassemia α dan thalassemia β. Namun berdasarkan gejala klinisnya, thalassemia terbagi menjadi thalassemia minor, thalassemia mayor dan thalassemia intermedia.
o Thalassemia Alfa (α-thalassemia)
Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa pada bayi yang baru lahir masih terdapat jumlah HbF(α2γ2) yang masih cukup tinggi. Pada usia 20 hari sesudah kelahiran kadar HbF akan menurun dan setelah 6 bulan kadarnya akan menjadi normal seperti orang dewasa. Selanjutnya pada masa tersebut akan terjadi konversi HbF menjadi HbA(α2β2) dan HbA2 (α2δ2).
Pada kasus thalassemia α, akan terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan produksi rantai globin α (memiliki 4 lokus genetik) menurun yang menyebabkan adanya kelebihan rantai globin β pada orang dewasa dan kelebihan rantai γ pada newborn. Derajat thalassemia α berhubungan dengan jumlah lokus yang termutasi (semakin banyak lokus yang termutasi, derajat thalassemia semakin tinggi)
Ø Silent carrier α thalassemia :
Salah satu dari empat gen α absent (αα/αo). Tiga loki α globin cukup memungkinkan produksi Hb normal. Secara hematologis sehat, kadang-kadang indeks RBC rendah. Tidak ada anemia dan hypochromia pada orang ini. Diagnosis tidak dapat ditentukan dengan elektroforesis. Etnis populasi African American. CBC (Complete blood count) salah satu orangtua menunjukkan hypochromia dan microcytosis.
Ø α thalassemia trait :
Delesi pd 2 gen α (αα/oo) atau (αo/αo). Dua loki α globin memungkinkan erythropoiesis hampir normal, tetapi ada anemia hypochromic microcytic ringan dan indeks RBC rendah.
Ø α thalassemia intermedia (Hb H disease) :
Delesi 3 gen α globin (αo/oo). 2 Hb yagn tidak stabil ada dlm drh : HbH (tetramer rantai β) & Hb Barts (tetramer rantai γ). Kedua Hb yang tidak stabil ini memp afinitas yang › thd O2 drpd Hb normal → pengiriman O2 yg rendah ke jaringan. Ada anemia hypochromic microcytic dg sel-sel target dan “Heinz bodies” (precipited HbH) pd preparat apus drh tepi, juga splenomegali. Kelainan ini nampak pd masa anak-anak atau pd awal kehidupan dewasa ketika anemia dan splenomegali terlihat
Ø α thalassemia major/homozygous α thalassemia
Delesi sempurna 4 gen α (oo/oo). Fetus tdk dpt hidup segera sesdh keluar dr uterus dan kehamilan mungkin tdk bertahan lama. Sebag besar bayi dmk mati pd saat lahir dg hydrops fetalis,dan bayi yg lahir hidup akan segera mati stlh lahir, kecuali transfusi darah intrauterine diberikan. Mereka edema dan memp sedikit Hb yg bersirkulasi, dan Hb yg ada semua tetramer rantai γ (Hb Barts).
o Thalassemia Beta (β-thalassemia)
Thalassemia β terkadi karena mutasi pd gen HBB pd khromosom 11. Thalassemia ini diturunkan scr autosom resesif. Derajat penyakit tgt pd sifat dasar mutasi. Mutasi diklasifikasikan sbg (βo) jika mereka mencegah pembtkan rantai β, mereka dikatakan sbg (β+) jika mereka memungkinkan formasi bbrp rantai β terjadi.
Terdapat rantai α relatif berlebihan, ttp ini tdk membtk tetramer. Mereka berikatan dg membran sel drh merah, yg menyebabkan kerusakan membran, dan pd konsentrasi tinggi mereka membtk agregat toksik.
Ø Silent carrier β thalassemia : mutasi ® tidak ada gejala, kecuali kemungkinan indeks RBC rendah. Mutasi ® thalassemia sangat ringan (β+ thalassemia),
Ø β thalassemia trait/minor : produksi rantai β berkisar dari 0 – tingkat defisiensi yang bervariasi. Anemia ringan, indeks RBC abnormal & Hb elektroforesis abnormal (HbA2 &/ HbF ). Hipochromia & microcytosis, target cells and faint basophilic stippling. Pada sebagian besar kasus asimtomatik, dan banyak penderita tidak menyadari kelainan ini. Deteksi biasanya dengan mengukur ukuran RBC (MCV : mean corpuscular volume) dan memperhatikan volume rata-rata yang agak ↓ daripada normal.
Ø β Thalassemia intermedia (heterozygous) : suatu kondisi tengah antara bentuk major dan minor. Penderita dapat hidup normal, tetapi mungkin memerlukan transfusi sekali-sekali, misal pada saat sakit atau hamil, tergantung pada derajad anemianya.
Ø β thalassemia associated with β chain structural variants : sindrom thalassemia (HbE/β thalassemia). Secara klinik : seringan thalassemia intermedia – thalassemia major.
Ø Thalassemia major (Cooley anemia) : kedua allele β-globin mutasi. Hypochromic & microcytosis berat, anisocytosis, RBC terfragmentasi, hypochromic macrocytes, polychromasia, RBC bernucleus & kadang leukosit immatur. Anemi tergantung transfusi, massive splenomegaly, bone deformities, retardasi pertban. Tanpa pengobatan mati dalam 5 tahun pertama sebab komplikasi anemia.
c. Patofisiologi
Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis.
d. Patogenesis
o Thalassemia Alfa
Pada thalassemia alfa terjadi mutasi pada kromosom 16 yang menyebabkan tidak terbentuknya rantai globin α. Pada newborn yang masih memiliki Hb F (α2γ2), kekurangan rantai globin α menyebabkan terdapat rantai globin γ yang tidak berpasangan. Rantai globin γ yang tidak berpasangan tersebut, kemudian akan membentuk tetramer sebagai Hb Barts. Sedangkan pada bayi > 6 bulan (dimana kadar HbF sama dengan orang dewasa) terdapat Hb A (α2β2), kekurangan rantai globin α menyebabkan rantai β tidak berpasangan yang kemudian membentuk tetramer sebagai HbH.
Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoiesis yang kurang efektif. Tetramer HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena HbH dan Hb Bart’s adalah homotetramer yang tidak mengalami perubahan allosentrik yang diperlukan untuk transpor oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bisa melepas oksigen pada tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Hb Bart’s sebanding dengan beratnya hipoksia
o Thalassemia Beta
Pada thalassemia beta terjadi mutasi pada kromosom 11 yang menyebabkan tidak terbentuknya rantai globin β yang mengakibatkan kelebihan rantai globin α pada HbA (α2β2). Kelebihan rantai α akan mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prokursor eritrosit yang hebat intramedular. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membrane sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga pada thalassemia β disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit dan memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer. Terjadinya eritropoesis yang berlangsusng tidak efektif mengakibatkan jumlah eritrosit normal yang dibutuhkan menjadi berkurang. Hal ini menimbulkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang (intramedular), dan bila masih belum mencukupi akan dibantu dengan eritropoesis ekstramedular pada hati dan limpa.
Sebagian kecil precursor eritrosit memiliki kemampuan membuat rantai γ menghasilkan HbF extra uterine. Pada thalassemia β sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk HbF. Kombinasi anemia pada thalassemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi , menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi produksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan parubahan tulang, peningkatan absorbsi besi, metabolisme yang tinggi dan gambaran klinis thalassemia β mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa yang diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit dalam limpa, sehngga menimbulkan gambaran hiperplenisme.
.
e. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemia. Gejala awal pucat (karena pecahnya sel darah merah) mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terlambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama bisanya menyebabkan pembesaran jantung.
Terdapat hepatomegali (pada kasus thalassemia berat) dan splenomegali yang dapat menyebabkan penderita mudah terserang infeksi. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoiesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawatan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, pembesaran ginjal dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme. Selain itu terdapa pula Osteoporosis
Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pankreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantara, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).
f. Diagnosis Banding
o Thalassemia
o Anemia Hemolitik
o Hemoglobinopathy struktural
g. Pemeriksaan Penunjang
Anemia biasanya berat, dengan kadar Hb berkisar 3-9 g/dL. Eritrosit memperlihatkan anisositosis, poikilositosis, dan hipokromia berat. Sering ditemuakn sel target dan tear drop cell. Normoblas (eritrosit berinti) banyak dijumpai pasca splenoktomid. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan eritropoiesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis Hb. Pada talasemia beta kadar HbF bervariasi 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.
Pada pemeriksaan laboratorium, penderita thalassemia berat memiliki penurunan Hemoglobin (2-5 g/dl), hematokrit, eritrosit, MCV, MCHC, MCH, namun terjadi kenaikan retikulosit. Pada anak-anak, jumlah hemoglobin normal adalah 10 – 16 gr/dl, jumlah AL adalah 9000-12.000/ μl, AL pada anak-anak adalah 200.000-400.000 / μl darah, dan Hematokrit pada anak-anak adalah 33-38 volume %.
h. Diagnosis Antenatal
Dapat dilakukan baik dengan memeriksa sintesis rantai globin dalam darah janin yang diambil dengan foetoskopi atau dengan memakai pemeriksaan cDNA (cDNA probes) untuk dicangkok (hybridize) dengan DNA janin yang diperoleh baik dengan amniosentesis atau dengan biopsi trifoblas. Prosedurnya mengandung risiko, tetapi diindikasikan untuk mencegah kelahiran anak dengan β-thalassemia mayor. Jika orang tua dan dokter setuju, prosedur ini juga dapat dipakai untuk mencegah kelahiran anak dengan cacat hemoglobin mayor lain.
i. Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan cara yang dapat menyembuhkan thalassemia. Namun terdapat beberapa terapi untuk mengurangi gejala yang ditimbulkannya:
o Atasi anemia dengan transfusi PRC. Transfusi hanya diberikan bila Hb <8g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi transfusi darah, Hb harus selalu dipertahakan di atas 12 g/dL tidak melebihi 15 g/dL. Bila tidak terdapat tanda gagal jantung dan Hb sebelum transfusi di atas 5 g/dL, diberikan 10-15 mg/kgBB per satu kali pemberian selama 2 jam atau 20 mL/kgBB dalam waktu 3-4 jam. Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung, atau Hb <5 g/dL, dosis satu kali pemberian tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB dengan kecepatan tidak lebih dari 2 mL/kgBB/jam. Sambil menunggu persiapan transfusi darah diberikan oksigen dengan kecepatan 2-4 1/menit. Setiap selesai pemberian satu seri transfusi, kadar Hb pasca transfusi diperiksa 30 menit setelah pemberian transfusi terakhir. Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan kelasi besi, yaitu Desferal secara im atau iv.
o Usaha untuk mencegah penumpukan besi (hemochromatosis) akibat transfusi dan akibat patogenesis dari thalassemia dapat dilakukan dengan pemberian iron chelator yaitu desferoksamin (desferal R) sehingga mengingkatkan ekskresi besi dalam urine. Desferal diberikan dengan infusion bag atau secara subkutan.
o Pemberian asam folat 5 mg/hari secara oral untuk mencegah krisis megaloblastik.
o Usaha untuk mengurangi proses hemolisis dengan splenektomi jika splenomegali cukup besar dan terbukti adanya hipersplenisme sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intraabdominal yang mengganggu napas dan berisiko mengalami ruptur. Hipersplenisme dini ditandai dengan jumlah transfusi melebihi 250 mL/kgBB dalam 1 tahun terakhir dan adanya penurunan Hb yang drastis. Hipersplenisme lanjut ditandai oleh adanya pansitopenia. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada umur 5 tahun ke atas saat fungsi limpa dalam sistem imun tubuh telah dapat diambil alih oleh organ limfoid lain.
o Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C perlu dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui transfusi darah.
o Terapi definitif dengan transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan pada setiap kasus baru dengan talasemia mayor. Transplantasi yang berhasil akan memberikan kesembuhan permanen.
o Secara berkala dilakukan pemantauan fungsi organ, seperti jantung, paru, hati, endokrin termasuk kadar glukosa darah, gigi, telinga, mata, dan tulang.
j. Prognosis
Tidak ada pengobatan untuk Hb Bart’s. Pada umumnya kasus penyakit Hb H mempunyai prognosis baik, jarang memerlukan transfuse darah atau splenektomi dan dapat hidup biasa. Thalassemia alfa 1 dan thalassemia alfa 2 dengan fenotip yang normal pada umumnya juga mempunyai prognosis baik dan tidak memerlukan pengobatan khusus.
Transplantasi sumsum tulang alogenik adalah salah satu pengobatan alternative tetapi hingga saat ini belum mendapatkan penyesuaian hasil atau bermanfaat yang sama di antara berbagai penyelidik secara global.
Thalassemia β homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia decade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating agents (desferal) untuk mengurangi hemosiderosis (harga umumnya tidak terjangkau oleh penduduk Negara berkembang). Di Negara maju dengan fasilitas transfuse yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai decade ke 5 dan kualitas hidup juga lebih baik.
III. PEMBAHASAN
Dari skenario 2 dimana terdapat seorang anak laki-laki berumur 2 tahun dengan keluhan lemas, yang mana didapatkan heteroanamnesis yaitu terlihat lemas, pucat dan mudah capek kurang lebih sejak 6 bulan lalu. Anak tersebut sering panas dan batuk pilek serta sudah dua kali ke puskesmas dan mendapatkan obat tambah darah namun keadaannya tetap tidak membaik,. Anak tersebut merupakan anak pertama yang mana ibunya sedang hamil anak kedua. Saudara sepupu anak tersebut memiliki gejala penyakit yang sama dan sering mendapatkan transfusi darah. Pada pemeriksaan fisisk didapat keadaan anak umum tersebut tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis, lemas. Tanda vital :frekwensi nadi 120 kali/menit, respirasi 24 kali/menit, suhu badan 38oC, tonsil membesar dan kemerahan, faring kemerahan, teraba splenomegali 1 shuffner dan hepatomegali sebesar 2 jari di bawah arcus costarum. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil : Hb 4,8 g/dl, AL 15.200/μl, AT 480.000/μl dan hematokrit 14,8%.
Berdasarkan heteroanamnesis, anak tersebut terlihat lemas, pucat dan mudah capek dikarenakan berkurangnya volume darah, haemoglobin dan vasokonstriksi untuk memperbesar pengiriman Oksigen ke organ-organ vital. Berkurangnya volume darah untuk pengiriman oksigen disebabkan eritropoesis yang tidak efektif yang menyebabkan umur eritrosit yang memendek. Umur eritrosit yang memendek disebabkan karena adanya Heinz Body (inclusion body) yang dibentuk dari adanya kelebihan rantai globin α arena pasangan rantai α yaitu rantai globin β pada HbA berkurang/tidak diproduksi sama sekali. Tidak terbentuknya rantai globin β disebabkan adanya mutasi pada kromosom 11.
Adanya hepatosplenomegali disebabkan hepar dan limpa yang bekerja sangat keras dalam merombak eritrosit. Adanya hepatosplenomegali menyebabkan jumlah/angka trombosit meningkat. Pada kasus thalassemia (masuk ke dalam jenis anemia hemolitik), terjadi destruksi eritrosit yang lebih cepat dari normal (Eritrosit abnormal). Eritrosit ketika melalui bagian pulpa limpa akan diperas. Eritrosit yang abnormal, rapuh, dan membrannya tidak elastis akan mengalami trauma dan didestruksi di limpa. Pada penderita thalassemia, Hbnya tidak normal, maka semakin banyak eritrosit yang didestruksi sehingga limpa bekerja keras dan timbul splenomegali. Hal tersebut menyebabkan proses eritropoesis yang lebih cepat (untuk memenuhi kebutuhan eritrosit yang mengakibatkan jumlah Hemoglobin dan Hematokrit meningkat), sehingga diperlukan tambahan eritrosit selain dari sumsum tulang yaitu dari hepar dan limpa. Selain itu, hal tersebut mengakibatkan eritrosit muda (retikulosit) juga dikeluarkan ke dalam darah tepi, sehingga jumlah retikulosit meningkat.
Anak tersebut sering panas, batuk pilek, tonsil membesar, dan faring kemerahan disebabkan adanya infeksi yang menyerang anak tersebut. Anak tersebut mudah terkena infeksi karena sistem imun yang menurun. Hal tersebut karena hati dan limpa (sebagai organ yang memproduksi antibody dan menetralisir racun) membengkak, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Selain itu, adanya infeksi mengakibatkan jumlah/angka leukosit meningkat.
Keadaan anak yang tidak membaik pada saat pemberian obat penambah darah mengindikasikan bahwa penyakit anak tersebut tidak dikarenakan defisiensi besi (karena sebagian besar obat penambah darah mengandung Fe atau besi) sehingga tidak ada gangguan pada heme, namun terdapat gangguan pada rantai globin. Hal tersebut mengindikasikan adanya thalassemia dimana pada thalassemia terdapat gangguan pada sintesis rantai globin α atau β
Berdasarkan patofisiologi dan patogenesis thalassemia, mutasi gen globin à produksi rantai globin berkurang atau tidak ada à produksi Hb berkurang à eritrosit mudah rusak/umur lebih pendek dibanding normal (hemolisis) à hati mengalami hepatomegali karena kerjanya terlalu berat dalam perombakan eritrosit à limpa menggantikan fungsi hati dalam perombakan eritrosit à kerjanya terlalu berat à mengalami splenomegali à hepatomegali à karena hepatosplenomegali menyebabkan perut buncit.
Penatalaksanaan pada penderita thalassemia α berbeda dengan penatalaksanaan pada penderita thalassemia β. Secara umum, upaya rehabilitatif bagi penderita thalassemia diantaranya adalah pemantauan tumbuh kembang dan diet Fe dibantu dengan vitamin C. Usaha preventif yang dapat dilakukan adalah dengan mengadakan konseling pranikah. Umunya, penderita thalassemia β tidak dapat disembuhkan, hdapat dijaga kesehatannya dengan transfusi darah, desferal, desferiprone, atau splenektomi. Sedangkan bagi penderita Hb Bart, sampai sekarang belum ditemukan obatnya dan hanya dapat dilakukan cara alternatif, yang dalam hal ini juga belum dapat diyakini kebenarannya, yaitu transplantasi sumsum tulang alogenik.
Setelah melakukan studi kasus secara keseluruhan pada skenario 2 blok IV, penulis mendiagnosis bahwa pasien tersebut (anak lakilaki berumur 2 bulan) positif menderita thalassemia, yang dalam konteks kali ini adalah thalassemia β mayor (salah satu jenis hemoglobinopati yang disebabkan kelainan sintesis rantai globin dan termasuk salah satu dari anemia hemolitik) dilihat dari gejala-gejala klinis, seperti anemis, hepatomegali, dan splenomegali; dan dipastikan lagi dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium secara menyeluruh. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain tes hematologi rutin, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), retikulosit, bilirubin, gambaran darah tepi, elektroforesis Hb, dan analisis DNA. Penyakit ini bukan hemoglobinopati sturktural dikarenakan pada hemoglobinopati struktural tidak ditemukan adanya hepatomegali. S
Penatalaksanaannya dapat dilakukan sesuai dengan yang sudah penulis ungkapkan pada paragraph di atas. Sedangkan untuk prognosis, penulis mempunyai hipotesis, pasien tersebut harus mendapatkan transfuse darah yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik agar nantinya dapat bertahan hidup lebih lama. Selain itu, pasien tersebut juga harus senantiasa menerapkan pola hidup sehat. Mengingat talasemia adalah penyakit genetik yang tidak saja menimbulkan masalah kesehatan, namun juga berkaitan dengan masalah tumbuh kembang dan masalah sosial, maka upaya pencegahan sangat diperlukan sejak dini. Di negara maju, program pencegahan dilakukan melalui skreening antenatal (sebelum melahirkan). Pemeriksaan pranikah penting dilakukan untuk mengetahui faktor genetik talasemia, disamping kepentingan skreening lainnya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Dari hasil heteroanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, anak tersebut didiagnosa menderita thalassemia.
2. Thalassemia merupakan bagian dari hemoglobinopati yang merupakan salah satu dari jenis anemia hemolitik.
3. Thalassemia pada anak tersebut belum pasti diketahui jenisnya. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut agar nantinya dalam penatalaksanaan penanganan yang dilakukan dapat tepat sesuai dengan jenis thalassemianya. Akan tetapi, kemungkinan besar thalassemia beta mayor. Hal ini dikarenakan terdapat gejala hepatosplenomegali.
4. Penatalaksanaan pada thalassemia diberikan kelasi besi (desferoxamine), Vitamin C 100-250 mg perhari, Asam folat 2-5 mg perhari, dan Vitamin E 200-400 IU (International Unit) perhari.
5. Prognosis dari thalassemia pada umumnya baik apabila diberi penatalaksanaan yang sesuai. Tetapi pada skenario 2 ini, terdapat gejala hepatosplenomegali yang mengindikasikan bahwa penderita yang masih berusia 2 bulan telah sampai pada stadium berat. Dalam hal ini, prognosisnya buruk.
6. Di samping terapi medikamentosa, juga diberikan edukasi dan program prevensi.
Batuk dan sesak nafas
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Serangan asma merupakan salah satu kedaruratan yang dapat menyebabkan kematian. Dilaporkan mortalitasnya berkisar 1-3 %. Banyak faktor yang terlibat dalam terjadinya kematian, tetapi yang jelas 77 dari 90 kasus kematian karena asma sebenarnya dapat dicegah. Serangan asma berat merupakan episode dari memburuknya gejala asma secara progresif berupa sesak, batuk, mengi, dada berat atau salah satu gejala yang disebutkan diatas. Dahulu episode ini sering disebut sebagai status asmatikus suatu istilah yang sekarang jarang dipakai lagi. Adapun status asmatikus menurut Kavuru dan Wiederman adalah asma eksaserbasi akut berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Diagnosis asma akut berat didasarkan adanya riwayat serangan asma yang berulang-ulang, faktor pencetus yang biasanya oleh karena infeksi saluran napas, respon terhadap obat anti asma serta riwayat alergi pada penderita. Kesulitan mungkin terjadi bila serangan asma beru pertama kali sehingga harus dibedakan dengan gagal jantung.
Dalam laporan kali ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi, histologi, dan patofisiologi dari sistem respirasi. Hal tersebut akan dibahas dalam tinjauan pustaka sedangkan dalam pembahasan akan dijelaskan mengenai hubungan hasil pemeriksaan yang dilakukan dengan keluhan utama pasien. Harapan penulis agar laporan ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan skenario ini.
2. Rumusan Masalah
2.1. Apakah yang menyebabkan batuk berdahak, sesak nafas yang
mendadak,dan disertai demam?
2.2. Apakah gejala gejala tersebut berhubungan dengan debu rumah?
2.3. Apakah indikasi ditemukannya wheezing pada auskultasi?
2.4. Apakah arti gambaran honeycomb appearance pada rontgen toraks?
2.5. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi pulmo manusia normal?
2.6. Bagaimanakah mekanisme terjadinya batuk?
2.7. Bagaimana penatalaksanaan penderita penyakit sistem respirasi?
3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
3.1. Mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi dari sistem respirasi
terutama paru-paru dan bronkus.
3.2. Mengetahui patogenesis penyakit asma dan hubungannya dengan
penyakit kakaknya.
3.3. Mengetahui working diagnosis untuk pasien tersebut, pemeriksaan
penunjang dan laboratorium, prognosis serta penatalaksanaan.
4. Hipotesa
Pasien tersebut menderita Asma Bronkial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Perjalanan udara saat inspirasi bermula dari apertura nasalis anterior → cavitas nasi (concha nasalis superior untuk pembau, concha nasalis medius dan concha nasalis inferior untuk conditioning) → vestibulum nasi (dalam vestibulum nasi ini terdapat fibricea atau bulu hidung yang berfungsi sebagai penyaring partikel-partikel kecil seperti debu yang masuk bersama udara saat inspirasi) → choana → nasopharing → larynx → trachea (terdapat cartilago dan pars membranacea) → bronchus primer → bronchus sekunder → bronchus tertius → bronchiolus (disini sudah tidak ada cartilago) → bronchiolus terminalis (masuk zona respiratorius) → brochiolus repiratorius → ductus alveolaris → saccus alveolaris → alveolus.
(Keluarga Besar Asisten Anatomi, 2004)
FISIOLOGI
Proses respirasi dapat dibagi menjadi empat golongan utama :
1. Ventilasi paru-paru, yaitu pemasukkan dan pengeluaran udara di antara atmosfir dan alveolus paru-paru
2. Difusi oksigen dan karbondioksida di antara alveolus dan darah
3. Transport oksigen dan karbondioksida di dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel
4. Pengaturan ventilasi dan segi-segi respirasi lainnya
Paru-paru dapat dikembangkan dan dikempiskan dengan dua cara (1) gerakan turun dan naik diafragma untuk memperbesar atau mengecilkan rongga dada dan (2) elevasi dan depresi iga-iga untuk meningkatkan dan menurunkan diameter anteroposterior rongga dada.
(Guyton, 1995)
HISTOLOGI
Sistem respirasi secara fungsional terdiri atas bagian konduksi dan bagian respirasi. Batas antara kedua bagian itu adalah bagian transisi tepatnya pada segmen bronkiolus respiratorius. Bagian konduksi meliputi rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, laring, trakhea, dan cabang-cabang bronkus sampai dengan bronkiolus terminalis. Selanjutnya adalah bagian respirasi yaitu mulai ductus alveolaris hingga alveolus.
(Luiz Carlos Junqueira, 2007)
MEKANISME BATUK
Refleks batuk penting untuk kehidupan, karena batuk merupakan cara jalan ke paru dipertahankan bebas dari benda asing. Impuls aferen berasal dari jalan pernafasan, terutama melalui nervus vagus ke medulla oblongata (MO). Di sana rangkaian kejadian automatis dicetuskan oleh sirkuit neuron MO, menyebabkan efek berikut :
1. Sekitar 2,5 liter udara diinspirasikan,
2. Epiglotis menutup dan pita suara menutup rapat untuk menjebak udara di dalam paru-paru,
3. Otot-otot perut berkontraksi kuat, mendorong diafagma sementara otot-otot ekspirasi lain juga berkontraksi kuat (tekanan intrapulmonal meningkat ≥ 100 mmHg),
4. Pita suara dan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara yang tertekan di dalam paru-paru meledak keluar,
5. Kompresi kuat paru-paru juga mengempiskan bronki dan trakea, lalu benda asing keluar.
(Guyton, 1995)
ASMA BRONKIAL
Definisi
Asma bronkial adalah penyakit saluran pernapasan dengan ciri-ciri saluran pernapasan tersebut akan bersifat hipersensitif (kepekaan yang luar biasa) atau hiperaktif (bereaksi yang berlebihan) terhadap bermacam-macam rangsangan, yang ditandai dengan timbulnya penyempitan saluran pernapasan bagian bawah secara luas, yang dapat berubah derajat penyempitannya menjadi normal kembali secara spontan dengan atau tanpa pengobatan.
Morfologi
Gambaran makroskopis paling mencolok adalah oklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbat mukus yang kental dan lengket. Secara histologis, sumbat mukus ini mengandung gelungan epitel yang terlepas (spiral curschmann). Juga terdapat banyak eosinofil dan kristal Charcot-Leyden (kumpulan kristaloid yang terbentuk dari protein eosinofil).
Patofisiologi
Serangan asma ditandai dengan dispnea berat disertai mengi, kesulitan utama ditemukan sewaktu penderita ekspirasi. Bronkus mengalami konstriksi dan terisi oleh mukus dan debris. Pada kasus biasa, serangan berlangsung 1 hingga beberapa jam dan mereda spontan atau dengan pengobatan, berupa bronkodilator atau kortikosteroid. Hiperkapnia, asidosis, dan hipoksia berat yang timbul dapat menyebabkan kematian. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan bunyi wheezing.
Gejala
1. Sesak napas hebat
2. Mengi, Batuk
3. Rasa berat di dada
4. Dapat terjadi gagal napas
(PPGD PARU, 2007)
Pemeriksaan
1. laboratorium : eosinofil meningkat
2. radiologis : tidak ada tanda khas
3. faal paru : VEF1 menurun
4. uji alergen
5. uji profokasi bronkus
6. anamnesis
7. auskultasi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk penyakit asma ini ada beberapa tahapan, yaitu :
1. Penilaian awal
- subyektif
- pemeriksaan fisik
- APE dan VEP1
- Saturasi oksigen
- Analisis gas darah
- Menentukan derajat berat serangan
2. Pengobatan awal
- Inhalasi agonis beta-2 shart acting 3 x setiap 20 menit atau injeksi adrenalin
0,3 mg sc dan injeksi terbutalin 0,25 mg sc
- di ukur saturasi oksigen, ³ 90 %
- Kortikosteroid sistemik bila tidak ada respons segera, mendapat steroid oral,
serangan berat.
- Sedativa merupakan kontra indikasi
3. Ulang Penilaian
- Pemerikasaan fisik
- APE
- Saturasi oksigen
4. Episode Sedang
- APE 60 –80 % prediksi
- Pemeriksaan fisik : gejala sedang.
- Inhalasi agonis beta-2 setiap 60 menit
- Pertimbangan kortikosteroid
- Teruskan pengobatan 1-3 jam sampai ada perbaikan
5. Episode berat
- APE < 60% prediksi
- Pemeriksaan fisik
- Riwayat pasien berisiko tinggi
- Tidak respon dengan terapi awal
- Inhalasi agonis beta –2 setiap jam
- Oksigen
- Aminofilin drip
- Pertimbangan agonis beta-2 SC, IM, IV
6. Respons baik
- Bertahan 60 menit sesudah terapi awal
- Pemeriksaan fisik normal
- APE > 70%
- Tidak ada kecemasan
- Saturasi O2 > 90 %
7. Pemulangan pasien
- Teruskan terapi inhalasi agonis beta –2
- Pertimbangkan kortikosteroid oral
- Edukasi penderita seperti pemakaian obat yang tepat, rencana pengobatan
jangka panjang dan kontrol teratur
8. Respons tidak lengkap dalam 1-2 jam
- Riwayat pasien berisiko tinggi
- Pemeriksaan fisik gejala ringgan sampai sedang
- APE < 70%
- Saturasi O2 tidak membaik
9. Rawat di rumah sakit
- Inhalasi agonis beta-2 atau antikolinergik
- Kortikosteroid sistemik
- Oksigen
- Infus aminofilin
- Pemantauan APE, saturasi O2, nadi dan theophyline
10. Respon buruk dalam 1 jam
- Riwayat pasien berisiko tinggi
- Pemeriksaan fisik gejala berat, tidak sadar, kejang
- APE < 30 %
- PaCO2 > 45 mmHg
- PaO2< 60 mmHg
11. Rawat di ICU
- Inhalasi agonis beta –2 dan antikolinergik
- Kortikosteroid iv
- Pertimbangan agonis beta-2 sc,im,iv
- Oksigen
- Pertimbangkan infus aminofilin
- Kemungkinan intubasi dan ventilasi mekanik
12. Pemulangan pasien
- Bila APE > 60% nilai prediksi dan bertahan dengan pemberian agonis beta-2
inhalasi atau oral
13. Perawatan di ICU
- Bila tidak ada perbaikan dalam 6-12 jam
Kortikosteroid diberikan pada asama eksaserbasi akut yang berat, beberapa keuntungan pemberian steroid ini adalah :
- Kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan
- Kortikosteroid oral biasanya sama efektifnya dengan intravena
- Bila ada mual dan muntah maka deberikan steroid intravena
- Kortikosteroid sistemik diberikan pada serangan sedang dan berat
- Kortikosteroid mengurangi angka kekambuhan
(PPGD PARU, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN
Batuk yang tidak berkurang sejak tiga hari kemungkinan disebabkan adanya benda asig yang masuk ke dalam tractus respiratoria. Benda asing tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya debu rumah. Refleks batuk yang timbul disebabkan karena Impuls aferen yang berasal dari jalan pernafasan, terutama melalui nervus vagus ke medulla oblongata (MO).
Timbulnya dahak yang menyertai batuk disebabkan oleh adanya sel epitel berlapis mukus bersilia yang membantu membersihkan saluran pernafasan, karena silia bergetar ke arah faring dan menggerakkan mukus seperti suatu lembaran yang mengalir terus-menerus. Jadi partikel asing kecil dan mukus digerakkan dengan kecepatan satu sentimeter per menit sepanjang trakea ke faring. Benda asing di dalam saluran hidung juga dimobilisasikan ke laring.
Sesak nafas yang terjadi pada penderita lebih disebabkan karena reaksi hipersensitifitas terhadap suatu alergen, yang pada skenario adalah debu. Partikel debu sangatlah kecil, sulit dilihat dengan mata telanjang. Jika seseorang yang alergi terhadap debu secara tidak sengaja menghirupnya, maka tubuh akan meresponnya pertama kali dengan refleks batuk. Kemudian sistem imun tubuh meresponnya dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi, seperti IgE, sel mast, Sel Th2, dan eosinofil. Akibatnya akan terjadi sesak nafas yang disebabkan oleh penyempitan bronkus yang berlebihan. Penyakit respirasi dengan riwayat seperti ini adalah asma ekstrinsik (disebabkan oleh reaksi hipersensitif tubuh terhadap suatu alergen, debu). Selain sesak nafas, tubuh juga akan mengalami kenaikkan suhu (demam) akibat melepaskan berbagai mediator inflamasi tadi.
Pada pemeriksaan fisik auskultasi penderita ditemukan adanya bunyi wheezing. Bunyi tersebut merupakan bunyi yang khas terdapat pada penyakit asma. Sang kakak juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Gambaran yang seperti sarang lebah tersebut merupakan salah satu ciri khas foto rontgen pada bronkiektasis.
Bronkiektasis adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis. Bronkiektasis bukanlah suatu penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai sebab.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas antara lain adalah (1) dari gejala-gejala yang ada, penderita kemungkinan besar menderita asma yang disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas/alergi terhadap debu rumah, (2) kakak penderita kemungkinan menderita bronkiektasis yang diketahui dengan adanya gambaran honeycomb appearance pada rontgen toraksnya, (3) penyakit asma penderita bersifat familial, tetapi tidak ada hubungannya dengan penyakit paru kronik sang kakak, (4) wheezing merupakan suara khas asma yang ditemukan pada pemeriksaan auskultasi yang disebabkan oleh penyempitan bronkus.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah (1) penderita diberi edukasi untuk menghindari agen pencetus terjadinya sesak nafas (asma), (2) jika kambuh lagi, diberikan bronkodilator dan kortikosteroid untuk mengurangi gejala, (3) sang kakak diberi antibiotik untuk membunuh bakteri patogen yang menjadi penyebab pada bronkiektasis, (4) penderita disarankan untuk memakai masker supaya bakteri yang ada tidak menular lewat udara.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC
Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2006. Text Book of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : WB Saunders company
Pabst, R & Putz, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobbota Edisi 22 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC)
Price,Sylvia A., Wilson Lorraine M. 2006. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Junqueira,Luiz Carlos., et al. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas. Jakarta : EGC
Robbins, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Serangan asma merupakan salah satu kedaruratan yang dapat menyebabkan kematian. Dilaporkan mortalitasnya berkisar 1-3 %. Banyak faktor yang terlibat dalam terjadinya kematian, tetapi yang jelas 77 dari 90 kasus kematian karena asma sebenarnya dapat dicegah. Serangan asma berat merupakan episode dari memburuknya gejala asma secara progresif berupa sesak, batuk, mengi, dada berat atau salah satu gejala yang disebutkan diatas. Dahulu episode ini sering disebut sebagai status asmatikus suatu istilah yang sekarang jarang dipakai lagi. Adapun status asmatikus menurut Kavuru dan Wiederman adalah asma eksaserbasi akut berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Diagnosis asma akut berat didasarkan adanya riwayat serangan asma yang berulang-ulang, faktor pencetus yang biasanya oleh karena infeksi saluran napas, respon terhadap obat anti asma serta riwayat alergi pada penderita. Kesulitan mungkin terjadi bila serangan asma beru pertama kali sehingga harus dibedakan dengan gagal jantung.
Dalam laporan kali ini akan dijelaskan mengenai anatomi, fisiologi, histologi, dan patofisiologi dari sistem respirasi. Hal tersebut akan dibahas dalam tinjauan pustaka sedangkan dalam pembahasan akan dijelaskan mengenai hubungan hasil pemeriksaan yang dilakukan dengan keluhan utama pasien. Harapan penulis agar laporan ini dapat digunakan sebagai sumber informasi dan mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan skenario ini.
2. Rumusan Masalah
2.1. Apakah yang menyebabkan batuk berdahak, sesak nafas yang
mendadak,dan disertai demam?
2.2. Apakah gejala gejala tersebut berhubungan dengan debu rumah?
2.3. Apakah indikasi ditemukannya wheezing pada auskultasi?
2.4. Apakah arti gambaran honeycomb appearance pada rontgen toraks?
2.5. Bagaimana anatomi, fisiologi, dan histologi pulmo manusia normal?
2.6. Bagaimanakah mekanisme terjadinya batuk?
2.7. Bagaimana penatalaksanaan penderita penyakit sistem respirasi?
3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
3.1. Mengetahui anatomi, histologi, dan fisiologi dari sistem respirasi
terutama paru-paru dan bronkus.
3.2. Mengetahui patogenesis penyakit asma dan hubungannya dengan
penyakit kakaknya.
3.3. Mengetahui working diagnosis untuk pasien tersebut, pemeriksaan
penunjang dan laboratorium, prognosis serta penatalaksanaan.
4. Hipotesa
Pasien tersebut menderita Asma Bronkial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Perjalanan udara saat inspirasi bermula dari apertura nasalis anterior → cavitas nasi (concha nasalis superior untuk pembau, concha nasalis medius dan concha nasalis inferior untuk conditioning) → vestibulum nasi (dalam vestibulum nasi ini terdapat fibricea atau bulu hidung yang berfungsi sebagai penyaring partikel-partikel kecil seperti debu yang masuk bersama udara saat inspirasi) → choana → nasopharing → larynx → trachea (terdapat cartilago dan pars membranacea) → bronchus primer → bronchus sekunder → bronchus tertius → bronchiolus (disini sudah tidak ada cartilago) → bronchiolus terminalis (masuk zona respiratorius) → brochiolus repiratorius → ductus alveolaris → saccus alveolaris → alveolus.
(Keluarga Besar Asisten Anatomi, 2004)
FISIOLOGI
Proses respirasi dapat dibagi menjadi empat golongan utama :
1. Ventilasi paru-paru, yaitu pemasukkan dan pengeluaran udara di antara atmosfir dan alveolus paru-paru
2. Difusi oksigen dan karbondioksida di antara alveolus dan darah
3. Transport oksigen dan karbondioksida di dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel
4. Pengaturan ventilasi dan segi-segi respirasi lainnya
Paru-paru dapat dikembangkan dan dikempiskan dengan dua cara (1) gerakan turun dan naik diafragma untuk memperbesar atau mengecilkan rongga dada dan (2) elevasi dan depresi iga-iga untuk meningkatkan dan menurunkan diameter anteroposterior rongga dada.
(Guyton, 1995)
HISTOLOGI
Sistem respirasi secara fungsional terdiri atas bagian konduksi dan bagian respirasi. Batas antara kedua bagian itu adalah bagian transisi tepatnya pada segmen bronkiolus respiratorius. Bagian konduksi meliputi rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, laring, trakhea, dan cabang-cabang bronkus sampai dengan bronkiolus terminalis. Selanjutnya adalah bagian respirasi yaitu mulai ductus alveolaris hingga alveolus.
(Luiz Carlos Junqueira, 2007)
MEKANISME BATUK
Refleks batuk penting untuk kehidupan, karena batuk merupakan cara jalan ke paru dipertahankan bebas dari benda asing. Impuls aferen berasal dari jalan pernafasan, terutama melalui nervus vagus ke medulla oblongata (MO). Di sana rangkaian kejadian automatis dicetuskan oleh sirkuit neuron MO, menyebabkan efek berikut :
1. Sekitar 2,5 liter udara diinspirasikan,
2. Epiglotis menutup dan pita suara menutup rapat untuk menjebak udara di dalam paru-paru,
3. Otot-otot perut berkontraksi kuat, mendorong diafagma sementara otot-otot ekspirasi lain juga berkontraksi kuat (tekanan intrapulmonal meningkat ≥ 100 mmHg),
4. Pita suara dan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara yang tertekan di dalam paru-paru meledak keluar,
5. Kompresi kuat paru-paru juga mengempiskan bronki dan trakea, lalu benda asing keluar.
(Guyton, 1995)
ASMA BRONKIAL
Definisi
Asma bronkial adalah penyakit saluran pernapasan dengan ciri-ciri saluran pernapasan tersebut akan bersifat hipersensitif (kepekaan yang luar biasa) atau hiperaktif (bereaksi yang berlebihan) terhadap bermacam-macam rangsangan, yang ditandai dengan timbulnya penyempitan saluran pernapasan bagian bawah secara luas, yang dapat berubah derajat penyempitannya menjadi normal kembali secara spontan dengan atau tanpa pengobatan.
Morfologi
Gambaran makroskopis paling mencolok adalah oklusi bronkus dan bronkiolus oleh sumbat mukus yang kental dan lengket. Secara histologis, sumbat mukus ini mengandung gelungan epitel yang terlepas (spiral curschmann). Juga terdapat banyak eosinofil dan kristal Charcot-Leyden (kumpulan kristaloid yang terbentuk dari protein eosinofil).
Patofisiologi
Serangan asma ditandai dengan dispnea berat disertai mengi, kesulitan utama ditemukan sewaktu penderita ekspirasi. Bronkus mengalami konstriksi dan terisi oleh mukus dan debris. Pada kasus biasa, serangan berlangsung 1 hingga beberapa jam dan mereda spontan atau dengan pengobatan, berupa bronkodilator atau kortikosteroid. Hiperkapnia, asidosis, dan hipoksia berat yang timbul dapat menyebabkan kematian. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan bunyi wheezing.
Gejala
1. Sesak napas hebat
2. Mengi, Batuk
3. Rasa berat di dada
4. Dapat terjadi gagal napas
(PPGD PARU, 2007)
Pemeriksaan
1. laboratorium : eosinofil meningkat
2. radiologis : tidak ada tanda khas
3. faal paru : VEF1 menurun
4. uji alergen
5. uji profokasi bronkus
6. anamnesis
7. auskultasi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk penyakit asma ini ada beberapa tahapan, yaitu :
1. Penilaian awal
- subyektif
- pemeriksaan fisik
- APE dan VEP1
- Saturasi oksigen
- Analisis gas darah
- Menentukan derajat berat serangan
2. Pengobatan awal
- Inhalasi agonis beta-2 shart acting 3 x setiap 20 menit atau injeksi adrenalin
0,3 mg sc dan injeksi terbutalin 0,25 mg sc
- di ukur saturasi oksigen, ³ 90 %
- Kortikosteroid sistemik bila tidak ada respons segera, mendapat steroid oral,
serangan berat.
- Sedativa merupakan kontra indikasi
3. Ulang Penilaian
- Pemerikasaan fisik
- APE
- Saturasi oksigen
4. Episode Sedang
- APE 60 –80 % prediksi
- Pemeriksaan fisik : gejala sedang.
- Inhalasi agonis beta-2 setiap 60 menit
- Pertimbangan kortikosteroid
- Teruskan pengobatan 1-3 jam sampai ada perbaikan
5. Episode berat
- APE < 60% prediksi
- Pemeriksaan fisik
- Riwayat pasien berisiko tinggi
- Tidak respon dengan terapi awal
- Inhalasi agonis beta –2 setiap jam
- Oksigen
- Aminofilin drip
- Pertimbangan agonis beta-2 SC, IM, IV
6. Respons baik
- Bertahan 60 menit sesudah terapi awal
- Pemeriksaan fisik normal
- APE > 70%
- Tidak ada kecemasan
- Saturasi O2 > 90 %
7. Pemulangan pasien
- Teruskan terapi inhalasi agonis beta –2
- Pertimbangkan kortikosteroid oral
- Edukasi penderita seperti pemakaian obat yang tepat, rencana pengobatan
jangka panjang dan kontrol teratur
8. Respons tidak lengkap dalam 1-2 jam
- Riwayat pasien berisiko tinggi
- Pemeriksaan fisik gejala ringgan sampai sedang
- APE < 70%
- Saturasi O2 tidak membaik
9. Rawat di rumah sakit
- Inhalasi agonis beta-2 atau antikolinergik
- Kortikosteroid sistemik
- Oksigen
- Infus aminofilin
- Pemantauan APE, saturasi O2, nadi dan theophyline
10. Respon buruk dalam 1 jam
- Riwayat pasien berisiko tinggi
- Pemeriksaan fisik gejala berat, tidak sadar, kejang
- APE < 30 %
- PaCO2 > 45 mmHg
- PaO2< 60 mmHg
11. Rawat di ICU
- Inhalasi agonis beta –2 dan antikolinergik
- Kortikosteroid iv
- Pertimbangan agonis beta-2 sc,im,iv
- Oksigen
- Pertimbangkan infus aminofilin
- Kemungkinan intubasi dan ventilasi mekanik
12. Pemulangan pasien
- Bila APE > 60% nilai prediksi dan bertahan dengan pemberian agonis beta-2
inhalasi atau oral
13. Perawatan di ICU
- Bila tidak ada perbaikan dalam 6-12 jam
Kortikosteroid diberikan pada asama eksaserbasi akut yang berat, beberapa keuntungan pemberian steroid ini adalah :
- Kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan
- Kortikosteroid oral biasanya sama efektifnya dengan intravena
- Bila ada mual dan muntah maka deberikan steroid intravena
- Kortikosteroid sistemik diberikan pada serangan sedang dan berat
- Kortikosteroid mengurangi angka kekambuhan
(PPGD PARU, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN
Batuk yang tidak berkurang sejak tiga hari kemungkinan disebabkan adanya benda asig yang masuk ke dalam tractus respiratoria. Benda asing tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, misalnya debu rumah. Refleks batuk yang timbul disebabkan karena Impuls aferen yang berasal dari jalan pernafasan, terutama melalui nervus vagus ke medulla oblongata (MO).
Timbulnya dahak yang menyertai batuk disebabkan oleh adanya sel epitel berlapis mukus bersilia yang membantu membersihkan saluran pernafasan, karena silia bergetar ke arah faring dan menggerakkan mukus seperti suatu lembaran yang mengalir terus-menerus. Jadi partikel asing kecil dan mukus digerakkan dengan kecepatan satu sentimeter per menit sepanjang trakea ke faring. Benda asing di dalam saluran hidung juga dimobilisasikan ke laring.
Sesak nafas yang terjadi pada penderita lebih disebabkan karena reaksi hipersensitifitas terhadap suatu alergen, yang pada skenario adalah debu. Partikel debu sangatlah kecil, sulit dilihat dengan mata telanjang. Jika seseorang yang alergi terhadap debu secara tidak sengaja menghirupnya, maka tubuh akan meresponnya pertama kali dengan refleks batuk. Kemudian sistem imun tubuh meresponnya dengan melepaskan mediator-mediator inflamasi, seperti IgE, sel mast, Sel Th2, dan eosinofil. Akibatnya akan terjadi sesak nafas yang disebabkan oleh penyempitan bronkus yang berlebihan. Penyakit respirasi dengan riwayat seperti ini adalah asma ekstrinsik (disebabkan oleh reaksi hipersensitif tubuh terhadap suatu alergen, debu). Selain sesak nafas, tubuh juga akan mengalami kenaikkan suhu (demam) akibat melepaskan berbagai mediator inflamasi tadi.
Pada pemeriksaan fisik auskultasi penderita ditemukan adanya bunyi wheezing. Bunyi tersebut merupakan bunyi yang khas terdapat pada penyakit asma. Sang kakak juga menderita penyakit paru kronik yang pada rontgen toraksnya menunjukkan gambaran honeycomb appearance tetapi tidak pernah ditemukan wheezing. Gambaran yang seperti sarang lebah tersebut merupakan salah satu ciri khas foto rontgen pada bronkiektasis.
Bronkiektasis adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis. Bronkiektasis bukanlah suatu penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai sebab.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas antara lain adalah (1) dari gejala-gejala yang ada, penderita kemungkinan besar menderita asma yang disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas/alergi terhadap debu rumah, (2) kakak penderita kemungkinan menderita bronkiektasis yang diketahui dengan adanya gambaran honeycomb appearance pada rontgen toraksnya, (3) penyakit asma penderita bersifat familial, tetapi tidak ada hubungannya dengan penyakit paru kronik sang kakak, (4) wheezing merupakan suara khas asma yang ditemukan pada pemeriksaan auskultasi yang disebabkan oleh penyempitan bronkus.
Saran yang dapat diberikan penulis adalah (1) penderita diberi edukasi untuk menghindari agen pencetus terjadinya sesak nafas (asma), (2) jika kambuh lagi, diberikan bronkodilator dan kortikosteroid untuk mengurangi gejala, (3) sang kakak diberi antibiotik untuk membunuh bakteri patogen yang menjadi penyebab pada bronkiektasis, (4) penderita disarankan untuk memakai masker supaya bakteri yang ada tidak menular lewat udara.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC
Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2006. Text Book of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : WB Saunders company
Pabst, R & Putz, R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobbota Edisi 22 Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC)
Price,Sylvia A., Wilson Lorraine M. 2006. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Junqueira,Luiz Carlos., et al. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas. Jakarta : EGC
Robbins, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC
Osteomyelitis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem muskuloskeletal manusia merupakan jalinan berbagai jaringan, baik itu jaringan pengikat, tulang maupun otot yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Fungsi utama sistem ini adalah sebagai penyusun bentuk tubuh dan alat untuk bergerak. Oleh karena itu, jika terdapat kelainan pada sistem ini maka kedua fungsi tersebut juga akan terganggu.
Pada skenario kali ini kita akan membahas tentang salah satu bagian dari muskutoskeletal yaitu tentang tulang. Topik yang akan kita bahas yaitu tentang trauma dan osteomielitis. Selain itu kita juga kita juga akan membahas tentang struktur normal dan fungsional tulang. Pembahasan pada skenario ini sangat penting bagi mahasiswa kedokteran sebagai wawasan dasar tentang muskuloskeletas. Oleh karena itu, penulis berharap dengan penulisan laporan ini penulis bisa mencapai standart kompetensi pada blok muskuloskeletal.
B. Rumusan Masalah
1.Laki-laki 20 tahun
2.Dua tahun lalu patah tulang pada tungkai bawah
1. Nyeri tungkai bawah
2. pyrexia
3. kemerahan
4. sinus di kulit
Hasil plain foto :
Penebalan periosteum, bone resorpsion, sclerosis, involucrum, squester dan Angulasi tibia dan fibula.
OSTEOMYELITIS
B. Tujuan Penulisan
1. Memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran sistem muskuloskeletal terutama yang berkaitan dengan skenario.
2. Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem muskuloskeletal untuk memecahkan masalah dalam skenario.
3. Memenuhi tugas individu tutorial skenario 1 Blok XI Sistem Muskuloskeletal.
4. Untuk dapat mendiagnosis, menatalaksana dan mengobati pasien.
C. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat sebagai sarana pembelajaran mahasiswa dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem muskuloskeletal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tulang
Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi alat-alat di dalam tubuh, pembentuk tubuh, metabolisme kalsium dan mineral, dan organ hematopoetik (Sudoyo et al (ed), 2006).
B. Histologi, Fisiologi dan Anatomi Tulang Panjang (Tibia)
Tulang termasuk jaringan pengikat khusus yang terdiri atas bahan antar sel yang mengalami kalsifikasi/mineralisasi dan beberapa macam sel-sel tulang ; osteoblas, osteosit dan osteoklas (Laboratorium Histologi FKUNS, 2008).
1. Komponen jaringan tulang
a.Sel Jaringan Tulang :
1. Osteoblas : Berfungsi mensintesis matriks organis tulang.
2. Osteosit : Bila osteoblas telah berada dalam matriks tulang yang disintesisnya
3. Osteoklas : Berfungsi untuk mensekresi jaringan tulang.
b.Matriks Tulang :
1. Organik (30%) : Serat kolagen (90%), Substansia Amorf (glikosaminoglikan)
2. Anorganis (65%) : Kristal hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2), Sitrat, Mg, Na, K.
c.Periosteum :
Bagian luar lebih banyak mengandung sabut – sabut jaringan pengikat, pembuluh darah, dan saraf dengan sedikit sel. Lapisan ini dinamakan Stratum Fibrosum
Bagian dalam lebih banyak mengandung sel – sel pipih yang mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas, sabut – sabut elastis, dan kolagen tersusun lebih longgar. Bagian ini disebut Stratum Germinativum.
d.Endosteum :
Mempunyai struktur dan komponen yang sama dengan periosteum tetapi lebih tipis dan tidak memperlihatkan 2 lapisan seperti pada periosteum. Ke arah luar bersifat osteogenik, ke arah dalam bersifat hemopoetik.
2. Perkembangan sel jaringan tulang
Sel mesenkhim → Osteoprogenitor → Osteoblas → Osteosit
3. Jenis-jenis jaringan tulang
a. PARS COMPACTUM bersifat padat dan solid, merupakan dinding luar.
b. PARS SPONGIOSUM membentuk spons merupakan bagian dalam yang mengitari cavum medullare. Cavum medullare berisi medulla ossium. Komposisi matrix pada pars spongiosum & pars compactum adalah sama.
4. Bagian anatomi tulang panjang
a. Diafisis atau batang : Bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan besar.
b. Metafisis : Bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel – sel hematopoietik. Bagian ini juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis.
c. Lempeng epifisis : Daerah pertumbuhan longitudinal pada anak – anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
d. Epifisis : Sumsum merah terdapat pada bagian ini. Epifisis juga langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang panjang berhenti.
5. Proses osteogenesis
a. Osifikasi Intramembranosa (Desmalis / langsung): Mula – mula beberapa sel mesenkhim dalam membran mesenkhim berdiferensiasi menjadi fibroblas untuk membentuk sabut – sabut kolagen sehingga terbentuk jaringan pengikat longgar berupa membran. Osifikasi dimulai saat sekelompok sel mesenkhim yang lain berdiferensiasi menjadi osteoblas di dalam membran jaringan pengikat yang terbentuk. Terjadi pada tulang pipih.
b. Osifikasi Endokondral : Diawali dengan pembentukan tulang rawan pada epifisis kemudian terjadi kalsifikasi pada matrik tulang rawan. Akibatnya sel tulang rawan mati lalu ditempati osteoblas. Setelah itu akan terjadi pembentukan tulang seperti biasanya.
(Laboratorium Histologi, 2008)
Proses osifikasi endokondral pada epifisis sebagai berikut : Pusat osifikasi di sini mirip dengan pusat osifikasi pada diafisis tetapi pertumbuhan lebih lanjut tidak secara memanjang tetapi radier.
OSTEOMIELITIS
Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang, dengan sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus Aureus. Penyebabnya lainnya antara lain infeksi tuberkulosa dan Salmonella pada penyakit sel sabit. Proses peradangan dapat bersifat akut atau kronis, yang kronis akan menyebabkan nekrosis tulang dan pembentukan pus, dimana kadang-kadang terdapat cairan yang melewati kulit untuk membentuk hubungan sinus dengan tulang. Tulang yang nekrotik dapat terpisah dengan jaringan yang masih hidup untuk membentuk sequestrum sinus. Sumber infeksi dapa berasal dari :
- Hematogen : Biasanya pada anak
- Implantasi langsung akibat trauma, misalnya fraktur atau setelah pembedahan
- Perluasan dari jaringan lunak di dekatnya, misalnya ulkus kaki pada diabetes.
Gambaran radiologis :
- Foto polos : Dapat normal hingga 10 hari dengan tanda paling awal berupa pembengkakan jaringan lunak. Tulang yang terinfeksi pada awalnya kehilangan detailnya dan menjadi tidak berbatas jelas dengan reaksi periosteal dan bahkan destruksi tulang.
- CT scan : Mendeteksi massa jaringan lunak dan sequestra yang disebabkan oleh penyakit ini.
Diagnosis banding :
1. Osteoporosis : Penurunan massa tulang tanpa disertai gangguan mineralisasi.
2. Osteomalasia : Kekurangan vitamin D pada orang dewasa
3. Paget’s disease : Penyakit arsitektur tulang dengan etiologi yang tidak jelas, dengan gejala awal peningkatan resopsi tulang kemudian diikuti proses perbaikan yang berlebihan.
Perbedaan osteomielitis dengan ketiga penyakit tersebut adalah pada osteomielitis menunjukkan gejala peradangan sedangkan pada ketiga penyakit tersebut tidak didapatkan.
(PRADIP R. PATEL, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Pada skenario disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berumur 20 tahun dengan keluhan nyeri pada tungkai bawah kanan, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul dan riwayat patah tulang pada kaki yang sama 2 tahun lalu. Sinus pada pasien mengeluarkan discharge seropurulen dengan ekskoriasi kulit sekitar sinus.
Kalau dilihat dari keluhan maupun pemeriksaan fisik yang telah disebutkan pada skenario maka kemungkinan pasien menderita infeksi, hal ini ditandai adanya proses inflamasi, seperti nyeri, pyrexia, kemerahan (Price and Wilson, 2005), selain itu juga adanya discharge yang bersifat seropurulen. Jenis infeksi yang diderita oleh pasien adalah infeksi tulang atau yang biasa disebut dengan osteomyelitis.
Osteomyelitis pada pasien, kemungkinan didapatkan akibatkan patah tulang yang pernah dialaminya 2 tahun lalu, karena pada beberapa kasus, infeksi tulang merupakan komplikasi fraktur tulang terbuka, selain itu keputusan pasien untuk mengobati patah tulangnya ke dukun bukannya ke dokter juga merupakan salah satu penyebabnya.
Discharge seropurulen dan hasil plain foto yang didapat (adanya involucrum dan sequester) mengindikasikan pasien menderita osteomyelitis pyogenik kronis. Alasan mengapa penulis berpendapat demikian adalah karena osteomyelitis dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu osteomyelitis pyogenik dan osteomyelitis tuberkulosa (kumar, cotran dan robbins, 2007). Pada osteomyelitis pyogenik, discharge yang dikeluarkan akan bersifat seropurulen. Sedangkan pada osteomyelitis tuberkulosa akan didaptkan daerah granulomatosa, dengan discharge seperti keju (kumar, cotran dan robbins, 2007).
Osteomyelitis kronis terjadi sebagai sekuele infeksi akut akibat dari kurangnya pengobatan. Seiring dengan waktu, terjadi influx sel radang kronis ke dalam fokus osteomyelitis yang mengawali reaksi penyembuhan berupa pengaktifan osteoklas, proliferasi fibroblast dan pembentukan tulang baru (kumar, cotran dan robbins, 2007). Tulang nekrotik yang tersisa yang disebut dengan sekuestrum dapat direabsorpsi oleh aktivitas osteoklas, sedangkan sekuestrum yang lebih besar akan dikelilingi oleh involucrum, sekuestrum ini juga akan menyebabkan adanya proses infeksi terus menerus sehingga akan terbentuk saluran sinus multiple dan hilang timbul (kumar, cotran dan robbins, 2007;de Jong, 2004).
Pada kasus ini sebaiknya dilakukan sekuestrektomi dan debridement serta pemberian antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur dan tes resistensi, selain itu pada kasus osteomyelitis kronik dini biasanya involucrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang menjadi sekuester (de Jong, 2004), oleh Karena itu, ekstremitas yang terkena sebaiknya dilindungi dengan gips untuk mencegah terjadinya fraktur patologik.
Deformitas maupun angulasi yang terjadi pada kaki pasien dapat disebabkan oleh proses penyembuhan tulang yang salah yang dilakukan oleh dukun. Selain itu juga deformitas dapat juga disebabkan oleh komplikasi yang disebabkan oleh fraktur tulang terbuka yang salah satunya adalah osteomyelitis. Hal ini akan sangat berbeda jika pasien langsung mengobati fraktur/patah tulang yang dialaminya dua tahun lalu ke dokter/rumah sakit.
Mengenai masalah kartu asuransi kesehatan milik pasien yang tidak bisa digunakan, penulis sejauh ini belum mengerti alasannya, karena keterangan mengenai hal itu kurang dijelaskan di dalam skenario, apakah memang kartu asuransinya telah kadaluarsa, apakah telah dicabut izinnya oleh pihak yang bersangkutan ataukah pihak rumah sakit yang tidak mau menerimanya. Akan tetapi yang jelas, seharusnya pihak rumah sakit bisa lebih memahami keadaan pasien dan mempermudah jalur birokrasinya.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pasien menderita osteomyelitis pyogenik kronis akibat dari fraktur yang pernah dialaminya dua tahun lalu.
2. Sebaiknya dilakukan sekuestrektomi, debridement dan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil tes kultur dan resistensi.
B. Saran
1. Menasehati supaya masyarakat lebih mempecayakan penanganan masalah kesehatan kepada dokter.
2. Ada baiknya rumah sakit memperbaiki jalur birokrasinya, jangan sampai slogan beurecrazy is public enemy menjadi kenyataan.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto A dan Azizi M.S (ed). 2004. Guidance to Anatomy 1. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS
Kumar V, Cotran R.S, dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbin . Edisis 7. Jakarta: EGC.
Price, S.A. dan Wilson, L.M. 2005 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.
Sudoyo A.W (ed) et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4 Jilid 2. Jakarta :EGC
Tim Penyusun BPP Laboratorium Histologi. 2008. BPP Blok Muskuloskeletal. Surakarta: Bagian Histologi FKUNS.
Wim de Jong dan Syamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
Pradip R. Patel. 2007. Lecture Notes Radiologi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Erlangga.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem muskuloskeletal manusia merupakan jalinan berbagai jaringan, baik itu jaringan pengikat, tulang maupun otot yang saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Fungsi utama sistem ini adalah sebagai penyusun bentuk tubuh dan alat untuk bergerak. Oleh karena itu, jika terdapat kelainan pada sistem ini maka kedua fungsi tersebut juga akan terganggu.
Pada skenario kali ini kita akan membahas tentang salah satu bagian dari muskutoskeletal yaitu tentang tulang. Topik yang akan kita bahas yaitu tentang trauma dan osteomielitis. Selain itu kita juga kita juga akan membahas tentang struktur normal dan fungsional tulang. Pembahasan pada skenario ini sangat penting bagi mahasiswa kedokteran sebagai wawasan dasar tentang muskuloskeletas. Oleh karena itu, penulis berharap dengan penulisan laporan ini penulis bisa mencapai standart kompetensi pada blok muskuloskeletal.
B. Rumusan Masalah
1.Laki-laki 20 tahun
2.Dua tahun lalu patah tulang pada tungkai bawah
1. Nyeri tungkai bawah
2. pyrexia
3. kemerahan
4. sinus di kulit
Hasil plain foto :
Penebalan periosteum, bone resorpsion, sclerosis, involucrum, squester dan Angulasi tibia dan fibula.
OSTEOMYELITIS
B. Tujuan Penulisan
1. Memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran sistem muskuloskeletal terutama yang berkaitan dengan skenario.
2. Mampu menerapkan ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem muskuloskeletal untuk memecahkan masalah dalam skenario.
3. Memenuhi tugas individu tutorial skenario 1 Blok XI Sistem Muskuloskeletal.
4. Untuk dapat mendiagnosis, menatalaksana dan mengobati pasien.
C. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat sebagai sarana pembelajaran mahasiswa dalam rangka mempelajari dan memahami ilmu-ilmu dasar kedokteran dan ilmu kedokteran klinik sistem muskuloskeletal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tulang
Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi alat-alat di dalam tubuh, pembentuk tubuh, metabolisme kalsium dan mineral, dan organ hematopoetik (Sudoyo et al (ed), 2006).
B. Histologi, Fisiologi dan Anatomi Tulang Panjang (Tibia)
Tulang termasuk jaringan pengikat khusus yang terdiri atas bahan antar sel yang mengalami kalsifikasi/mineralisasi dan beberapa macam sel-sel tulang ; osteoblas, osteosit dan osteoklas (Laboratorium Histologi FKUNS, 2008).
1. Komponen jaringan tulang
a.Sel Jaringan Tulang :
1. Osteoblas : Berfungsi mensintesis matriks organis tulang.
2. Osteosit : Bila osteoblas telah berada dalam matriks tulang yang disintesisnya
3. Osteoklas : Berfungsi untuk mensekresi jaringan tulang.
b.Matriks Tulang :
1. Organik (30%) : Serat kolagen (90%), Substansia Amorf (glikosaminoglikan)
2. Anorganis (65%) : Kristal hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2), Sitrat, Mg, Na, K.
c.Periosteum :
Bagian luar lebih banyak mengandung sabut – sabut jaringan pengikat, pembuluh darah, dan saraf dengan sedikit sel. Lapisan ini dinamakan Stratum Fibrosum
Bagian dalam lebih banyak mengandung sel – sel pipih yang mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas, sabut – sabut elastis, dan kolagen tersusun lebih longgar. Bagian ini disebut Stratum Germinativum.
d.Endosteum :
Mempunyai struktur dan komponen yang sama dengan periosteum tetapi lebih tipis dan tidak memperlihatkan 2 lapisan seperti pada periosteum. Ke arah luar bersifat osteogenik, ke arah dalam bersifat hemopoetik.
2. Perkembangan sel jaringan tulang
Sel mesenkhim → Osteoprogenitor → Osteoblas → Osteosit
3. Jenis-jenis jaringan tulang
a. PARS COMPACTUM bersifat padat dan solid, merupakan dinding luar.
b. PARS SPONGIOSUM membentuk spons merupakan bagian dalam yang mengitari cavum medullare. Cavum medullare berisi medulla ossium. Komposisi matrix pada pars spongiosum & pars compactum adalah sama.
4. Bagian anatomi tulang panjang
a. Diafisis atau batang : Bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan besar.
b. Metafisis : Bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel – sel hematopoietik. Bagian ini juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis.
c. Lempeng epifisis : Daerah pertumbuhan longitudinal pada anak – anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
d. Epifisis : Sumsum merah terdapat pada bagian ini. Epifisis juga langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang panjang berhenti.
5. Proses osteogenesis
a. Osifikasi Intramembranosa (Desmalis / langsung): Mula – mula beberapa sel mesenkhim dalam membran mesenkhim berdiferensiasi menjadi fibroblas untuk membentuk sabut – sabut kolagen sehingga terbentuk jaringan pengikat longgar berupa membran. Osifikasi dimulai saat sekelompok sel mesenkhim yang lain berdiferensiasi menjadi osteoblas di dalam membran jaringan pengikat yang terbentuk. Terjadi pada tulang pipih.
b. Osifikasi Endokondral : Diawali dengan pembentukan tulang rawan pada epifisis kemudian terjadi kalsifikasi pada matrik tulang rawan. Akibatnya sel tulang rawan mati lalu ditempati osteoblas. Setelah itu akan terjadi pembentukan tulang seperti biasanya.
(Laboratorium Histologi, 2008)
Proses osifikasi endokondral pada epifisis sebagai berikut : Pusat osifikasi di sini mirip dengan pusat osifikasi pada diafisis tetapi pertumbuhan lebih lanjut tidak secara memanjang tetapi radier.
OSTEOMIELITIS
Osteomielitis merupakan infeksi pada tulang, dengan sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus Aureus. Penyebabnya lainnya antara lain infeksi tuberkulosa dan Salmonella pada penyakit sel sabit. Proses peradangan dapat bersifat akut atau kronis, yang kronis akan menyebabkan nekrosis tulang dan pembentukan pus, dimana kadang-kadang terdapat cairan yang melewati kulit untuk membentuk hubungan sinus dengan tulang. Tulang yang nekrotik dapat terpisah dengan jaringan yang masih hidup untuk membentuk sequestrum sinus. Sumber infeksi dapa berasal dari :
- Hematogen : Biasanya pada anak
- Implantasi langsung akibat trauma, misalnya fraktur atau setelah pembedahan
- Perluasan dari jaringan lunak di dekatnya, misalnya ulkus kaki pada diabetes.
Gambaran radiologis :
- Foto polos : Dapat normal hingga 10 hari dengan tanda paling awal berupa pembengkakan jaringan lunak. Tulang yang terinfeksi pada awalnya kehilangan detailnya dan menjadi tidak berbatas jelas dengan reaksi periosteal dan bahkan destruksi tulang.
- CT scan : Mendeteksi massa jaringan lunak dan sequestra yang disebabkan oleh penyakit ini.
Diagnosis banding :
1. Osteoporosis : Penurunan massa tulang tanpa disertai gangguan mineralisasi.
2. Osteomalasia : Kekurangan vitamin D pada orang dewasa
3. Paget’s disease : Penyakit arsitektur tulang dengan etiologi yang tidak jelas, dengan gejala awal peningkatan resopsi tulang kemudian diikuti proses perbaikan yang berlebihan.
Perbedaan osteomielitis dengan ketiga penyakit tersebut adalah pada osteomielitis menunjukkan gejala peradangan sedangkan pada ketiga penyakit tersebut tidak didapatkan.
(PRADIP R. PATEL, 2007)
BAB III
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
Pada skenario disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berumur 20 tahun dengan keluhan nyeri pada tungkai bawah kanan, pyrexia, kemerahan, sinus di kulit yang hilang timbul dan riwayat patah tulang pada kaki yang sama 2 tahun lalu. Sinus pada pasien mengeluarkan discharge seropurulen dengan ekskoriasi kulit sekitar sinus.
Kalau dilihat dari keluhan maupun pemeriksaan fisik yang telah disebutkan pada skenario maka kemungkinan pasien menderita infeksi, hal ini ditandai adanya proses inflamasi, seperti nyeri, pyrexia, kemerahan (Price and Wilson, 2005), selain itu juga adanya discharge yang bersifat seropurulen. Jenis infeksi yang diderita oleh pasien adalah infeksi tulang atau yang biasa disebut dengan osteomyelitis.
Osteomyelitis pada pasien, kemungkinan didapatkan akibatkan patah tulang yang pernah dialaminya 2 tahun lalu, karena pada beberapa kasus, infeksi tulang merupakan komplikasi fraktur tulang terbuka, selain itu keputusan pasien untuk mengobati patah tulangnya ke dukun bukannya ke dokter juga merupakan salah satu penyebabnya.
Discharge seropurulen dan hasil plain foto yang didapat (adanya involucrum dan sequester) mengindikasikan pasien menderita osteomyelitis pyogenik kronis. Alasan mengapa penulis berpendapat demikian adalah karena osteomyelitis dibagi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu osteomyelitis pyogenik dan osteomyelitis tuberkulosa (kumar, cotran dan robbins, 2007). Pada osteomyelitis pyogenik, discharge yang dikeluarkan akan bersifat seropurulen. Sedangkan pada osteomyelitis tuberkulosa akan didaptkan daerah granulomatosa, dengan discharge seperti keju (kumar, cotran dan robbins, 2007).
Osteomyelitis kronis terjadi sebagai sekuele infeksi akut akibat dari kurangnya pengobatan. Seiring dengan waktu, terjadi influx sel radang kronis ke dalam fokus osteomyelitis yang mengawali reaksi penyembuhan berupa pengaktifan osteoklas, proliferasi fibroblast dan pembentukan tulang baru (kumar, cotran dan robbins, 2007). Tulang nekrotik yang tersisa yang disebut dengan sekuestrum dapat direabsorpsi oleh aktivitas osteoklas, sedangkan sekuestrum yang lebih besar akan dikelilingi oleh involucrum, sekuestrum ini juga akan menyebabkan adanya proses infeksi terus menerus sehingga akan terbentuk saluran sinus multiple dan hilang timbul (kumar, cotran dan robbins, 2007;de Jong, 2004).
Pada kasus ini sebaiknya dilakukan sekuestrektomi dan debridement serta pemberian antibiotic yang sesuai dengan hasil kultur dan tes resistensi, selain itu pada kasus osteomyelitis kronik dini biasanya involucrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang menjadi sekuester (de Jong, 2004), oleh Karena itu, ekstremitas yang terkena sebaiknya dilindungi dengan gips untuk mencegah terjadinya fraktur patologik.
Deformitas maupun angulasi yang terjadi pada kaki pasien dapat disebabkan oleh proses penyembuhan tulang yang salah yang dilakukan oleh dukun. Selain itu juga deformitas dapat juga disebabkan oleh komplikasi yang disebabkan oleh fraktur tulang terbuka yang salah satunya adalah osteomyelitis. Hal ini akan sangat berbeda jika pasien langsung mengobati fraktur/patah tulang yang dialaminya dua tahun lalu ke dokter/rumah sakit.
Mengenai masalah kartu asuransi kesehatan milik pasien yang tidak bisa digunakan, penulis sejauh ini belum mengerti alasannya, karena keterangan mengenai hal itu kurang dijelaskan di dalam skenario, apakah memang kartu asuransinya telah kadaluarsa, apakah telah dicabut izinnya oleh pihak yang bersangkutan ataukah pihak rumah sakit yang tidak mau menerimanya. Akan tetapi yang jelas, seharusnya pihak rumah sakit bisa lebih memahami keadaan pasien dan mempermudah jalur birokrasinya.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pasien menderita osteomyelitis pyogenik kronis akibat dari fraktur yang pernah dialaminya dua tahun lalu.
2. Sebaiknya dilakukan sekuestrektomi, debridement dan pemberian antibiotik yang sesuai dengan hasil tes kultur dan resistensi.
B. Saran
1. Menasehati supaya masyarakat lebih mempecayakan penanganan masalah kesehatan kepada dokter.
2. Ada baiknya rumah sakit memperbaiki jalur birokrasinya, jangan sampai slogan beurecrazy is public enemy menjadi kenyataan.
DAFTAR PUSTAKA
Budianto A dan Azizi M.S (ed). 2004. Guidance to Anatomy 1. Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS
Kumar V, Cotran R.S, dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi Robbin . Edisis 7. Jakarta: EGC.
Price, S.A. dan Wilson, L.M. 2005 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC.
Sudoyo A.W (ed) et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4 Jilid 2. Jakarta :EGC
Tim Penyusun BPP Laboratorium Histologi. 2008. BPP Blok Muskuloskeletal. Surakarta: Bagian Histologi FKUNS.
Wim de Jong dan Syamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
Pradip R. Patel. 2007. Lecture Notes Radiologi. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Langganan:
Postingan (Atom)